Ludruk termasuk jenis teater tradisional Jawa yang lahir dan berkembang di tengah-tengah rakyat dan bersumber pada spontanitas kehidupan rakyat. Ludruk disampaikan dengan penampilan dan bahasa yang mudah dicerna masyarakat. Selain berfungsi sebagai hiburan, seni pertunjukan ini juga berfungsi sebagai pengungkapan suasana kehidupan masyarakat pendukungnya. Di samping itu, kesenian ini juga sering dimanfaatkan sebagai penyaluran kritik sosial.
Hingga sekarang belum didapat kepastian mengenai tempat asal kelahiran ludruk. Usaha untuk menentukannya biasanya selalu terbentur pada dua pendapat yang berbeda. Pendapat pertama mengatakan bahwa kesenian ini berasal dari Surabaya, sedang pendapat yang ke dua menganggap bahwa ludruk berasal dari Jombang. Kedua pendapat ini sama-sama kuat argumentasinya.
Menurut penuturan beberapa narasumber dan kalangan seniman ludruk, embrio kesenian ludruk pertama kali muncul sekitar tahun 1890. Pemulanya adalah Gangsar, seorang tokoh yang berasal dan desa Pandan, Jombang. Gangsar pertama kali mencetuskan kesenian ini dalam bentuk ngamen dan jogetan. Ia mengembara dan rumah ke rumah. Dalam pengembaraannya ini Gangsar kemudian melihat seorang lelaki sedang menggendong anaknya yang sedang menangis. Lelaki itu berpakaian perempuan, dan ini dianggap Gangsar lucu dan menarik, sehingga dia terdorong menanyakan alasan pemakaian baju perempuan tersebut. Menurut si lelaki, ia memakai baju perempuan tersebut untuk mengelabui anaknya, untuk membuat anaknya merasa bahwa dia digendong oleh ibunya.
Menurut nara sumber ini, peristiwa itulah yang menjadi asal munculnya laki-laki yang berperan sebagai wanita dalam kesenian ludruk. Narasumber lain menuturkan bahwa hal terakhir ini bermula dari pengembaraan seorang pengamen yang bernama Alim. Seperti halnya Gangsar, dalam pengembaraannya, Alim berjumpa dengan seorang lelaki yang sedang menghibur anaknya. Laki-laki itu mengenakan pakaian wanita. Diceriterakan bahwa Alim berasal dari daerah Kriyan yang kemudian mengembara sampai ke Jombang dan Surabaya. Dalam pengembaraannya Alim disertai oleh beberapa orang temannya. Mereka bersama sama memperkenalkan bentuk seni ngamen dan jogetan. Kemudian kelompok Alim ini mengembangkan bentuk tersebut menjadi bentuk seni yang berisi parikan dan dialog. Oleh karena tarian yang dibawakan selalu menghentakkan (gedruk-gedruk) kaki, seni itu kemudian diberi nama "ludruk".
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, ludruk dikenal sebagai media penyalur kritik sosial kepada pemerintah. Kritik sosial ini ditampilkan melalui parikan (pantun), yang berisi sindiran terselubung, yang disebut besutan.Oleh karena itu ludruk yang mengandungnya disebut ludruk besutan. Dalam ludruk besutan yang disamarkan tidak hanya kritik sosial, tetapi juga nama para pemain seperti Jumino, Ruswini, Singogambar dan sebagainya. Permainan ludruk besutan tersusun dari tandakan (menari bebas), dagelan (lawak), dan besutan. Dalam ludruk ini belum dikenal cerita yang utuh. Yang ada hanya dialog yang dikembangkan secara spontan.
Dari tahun 1922 sampai dengan tahun 1930, ludruk mengalami perkembangan dengan masuknya secara berangsur-angsur unsur-unsur cerita di dalamnya. Perkembangan ini banyak dipengaruhi oleh peredaran film bisu di Indonesia. Ludruk yang telah memasukkan unsur cerita disebut ludruk sandiwara. Jenis ludruk ini menampilkan adegan-adegan cerita yang mencerminkan situasi kehidupan masyarakat dan lingkungannya. Ludruk sandiwara secara realistis berani mengungkapkan keprihatinan masyarakat yang sedang terjajah. Di samping itu, bentuk seni ini mengandung unsur-unsur yang mendorong perjuangan. Kostum ludruk sendiri terdiri dari warna merah dan putih yang mencerminkan bendera kebangsaan Indonesia.
Pada zaman Jepang kesenian ludruk berfungsi sebagai media kritik terhadap pemerintah. Ini tampak terutama dalam ludruk Cak Durasirn yang terkenal dengan parikan "Pagupon omahe dara, melok Nippon tambah sengsara". Dengan parikan serupa itu Cak Durasim ternyata berhasil membangkitkan rasa tidak senang rakyat terhadap Jepang. Cak Durasim akhirnya ditangkap dan meninggal dalam tahanan Jepang.
Pada zaman Republik Indonesia, seni ludruk masih hidup dan berkembang sebagai kesenian rakyat tradisional yang berbentuk teater. Hanya saja, kalau pada masa sebeluninya kesenian ini berfungsi sebagai penyalur kritik sosial, pada masa yang kemudian fungsinya bergeser menjadi penyampai kebijaksanaan pemerintah.
Selain itu, ludruk juga digunakan sebagai media promosi barang dagangan tertentu oleh Sponsor tertentu.
Pertunjukan ludruk mempunyai ciri khusus sebagai berikut. Pemain ludruk semuanya terdiri dari laki-laki, baik untuk peran laki-laki sendiri maupun untuk peran wanita. Oleh karena biasa memainkan peran wanita, para pemain ludruk cenderung terbentuk menjadi kelompok travesti. Bahasa yang digunakan dalam ludruk adalah bahasa yang mudah dicerna masyarakat, yakni bahasa Jawa logat Surabaya. Selain itu, sesuai dengan tuntutan cenita, di dalam bentuk seni ini sering pula digunakan kata-kata Cina, Belanda, Inggris dan Jepang. Selain dalam hal pemain dan bahasa, kekhasan ludruk juga terdapat dalam ceritera, dekorasi, kostum dan urutan pementasan.Cerita ludruk dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni cerita pakem dan cerita fantasi. Cerita pakem adalah cerita mengenai tokoh-tokoh terkemuka dari wilayah Jawa Timur, seperti Cak Sakera dan Sarif Tambak Yoso. Cerita fantasi adalah cerita karangan individu tertentu yang biasanya berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari hari.
Dekorasi ludruk amat terbatas. Di antaranya adalah dekorasi interior rumah, alam pedesaan dan pegunungan, kuburan, dan resepsi perkawinan. Panggung ditampilkan dengan geber, dekorasi dan peralatan panggung lainnya seperti meja, kursi tamu, bufet, kursi pengantin, dan sebagainya. Kostum yang dikenakan disesuaikan dengan tuntutan cerita. Oleh karena itu, setiap kelompok kesenian ludruk paling sedikit memiliki kostum pakaian harian, pakaian penganten, seragam tentara dan sebagainya. Kostum ini digunakan sesuai dengan cerita yang ditampilkan.
Selain kostum, dalam kesenian ludruk terdapat perangkat gamelan yang sederhana. Perangkat gamelan mi disebut sengganen, yaitu kienengan gong kecil yang terdiri saron dan demung, peking, penerus, kendang dan gong kecil. Penabuh gamelan terdiri dan empat orang, masing-masing memegang peralatan rangkap. Ada yang menangani saron dan demung, peking dan penerus. Kendang dan gong kecil masing-masing dipegang oleh satu orang.
Urutan adegan ludruk mempunyai kekhasan. Pentas biasanya dimulai dengan ngremo. Kidungan (pembawaan tembang), bedayan (tari-tarian umum), dan cerita inti, berturut-turut mengikuti adegan ngremo tersebut. Dalam adegan cerita inti terdapat penggantian babakan yang biasanya diselingi dengan humor.
Penyutradaraan pertunjukan dilakukan secara longgar dan spontan. Sekitar satu jam sebelum main, sutradara terlebih dahulu mengumpulkan para pemain yang ada. Kemudian ia menjelaskan lakon yang akan dimainkan. Setelah itu satu-persatu pemain didatangi dan ditunjuk sebagai pemeran tokoh tertentu. Selanjutnya sutradara memberikan petunjuk niengenai acting dan garis besar serta pola dialog yang harus dibawakan oleh pemain tersebut. Apabila waktu tidak mencukupi, adegan tertentu diatur pada waktu adegan sebelumnya sedang berlangsung. Apabila ada pemain yang semula ditunjuk, tetapi tidak dapat melaksanakan tugasnya karena berbagai alasan, pemain itu dapat dengan mudah diganti oleh pemain lainnya. [ki-demang.com]
0 komentar:
Posting Komentar