Sabtu, 29 Oktober 2011

Temukan Pasir Unik di Pantai Tanjung Aan

Kompas.com/Riana Afifah Pantai Tanjung Aan, Lombok, NTB

KOMPAS.com – Tidak ada yang menyangkal bahwa Lombok, Nusa Tenggara Barat, memiliki banyak pantai yang indah dan kerap dikunjungi oleh para wisatawan lokal maupun wisatawan mancanegara. Laut berwarna biru jernih dan hamparan pasir putih dapat ditemukan di Lombok. Namun pantai yang memiliki dua jenis pasir dalam satu tempat, pastilah Tanjung Aan tempatnya.

Pantai yang terletak di Lombok bagian selatan ini memiliki tekstur yang sangat unik. Di pantai ini, Anda akan mendapati pasir yang berbentuk seperti butiran merica sampai ke bagian bibir pantai. Kemudian tampak sebuah bukit kecil yang dapat dinaiki oleh para pengunjung. Di balik bukit kecil tersebut, pengunjung tidak akan lagi menemukan pasir dengan bentuk butiran merica lagi melainkan hamparan pasir putih yang sangat halus.

“Saya juga bingung kenapa bisa begini ya. Bersebelahan tapi jenis pasirnya beda begini. Pemandangannya juga bagus di sini,” ungkap salah satu pengunjung asal Belanda, Paula yang datang bersama putranya ke pantai ini.

Suasana yang tenang juga menjadi pilihan bagi para wisatawan yang datang ke tempat ini. Wajar saja, di sekitar lokasi ini sama sekali tidak ada tempat penginapan yang berdiri. Hanya hamparan padang rumput tempat warga melepas hewan ternaknya yang terlihat di jalan menuju Pantai Tanjung Aan. Umumnya, para wisatawan datang ke lokasi ini untuk bermain air, berjemur, memotret atau surfing.

Namun bagi wisatawan yang ingin sering berkunjung ke lokasi ini dapat memilih tempat penginapan terjangkau yang tersedia di sekitar Pantai Kuta Lombok. Pantai dengan pemandangan yang menawan ini memang tidak terlalu jauh dengan Pantai Kuta Lombok. Jika tempat penginapan berada di Mataram, maka butuh waktu selama 1,5 jam untuk sampai ke Pantai Tanjung Aan dengan menggunakan kendaraan.

Sayangnya, terkadang suasana tenang untuk menikmati indahnya pemandangan pantai kerap terusik oleh para penduduk lokal yang menjajakan dagangannya berupa cinderamata khas Lombok. Bahkan para penduduk lokal ini tidak segan terus mengejar para wisatawan sampai ke bibir pantai.

Tidak hanya itu, jika ingin menaiki bukit kecil yang memisahkan kedua jenis pasir di Tanjung Aan ini maka siapkan uang Rp 2000। Karena, anak-anak kecil yang merupakan penduduk lokal menarik iuran pada wisatawan yang naik dengan membawa kardus kecil bertuliskan “Naik Rp. 2000”.

Sumber kompas.com

Puja di Tengah Deburan Ombak Nan Magis

KOMPAS.com — Berwisata ke Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, sangatlah belum lengkap rasanya kalau belum mampir ke Pura Batu Bolong yang terletak di Pantai Senggigi, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.

Pura ini dinamakan Batu Bolong karena lokasi puranya terletak di batu karang hitam yang menjorok ke pantai dan memiliki batu bolong di karangnya. Suara ombak membentur batu karang dan deburan ombak air laut pasang surut yang menyentuh pasir. Keunikan batu karang bolong membawa magis tersendiri di pura Hindu tersebut.

Pada waktu sore hari sangat indah pemandangannya. Wisatawan bisa menyaksikan matahari tenggelam. Apabila tidak ada awan, dari kejauhan bisa terlihat Gunung Agung di Bali.

Tampak pula perahu-perahu yang sedang berlayar. Pemandangan yang menakjubkan perpaduan antara pura, karang, ombak, dan perahu layar yang menjadi satu. Sebuah sensasi tersendiri untuk menikmati pesonanya.

Di atas batu karang terdapat dua buah pura. Saat berjalan menuruni anak tangga akan ditemukan pura pertama di bawah pohon rindang. Untuk mencapai pura kedua, pengunjung harus naik tangga di batu karang setinggi 4 meter yang menjorok ke laut. Saat saya sedang berkunjung ke tempat ini, ada upacara persembahan umat Hindu. Tetapi, mereka tidak merasa terganggu dengan datangnya wisatawan. Kami meminta izin memotret dan mereka tidak berkeberatan.

Semua wisatawan sebelum masuk harus memakai selendang kuning yang dilingkarkan di pinggang. Tiket masuk di lokasi wisata ini seikhlasnya saja. Berapa saja boleh dan ditulis di buku tamu. Jadi tidak ada tiket masuk yang resmi.

Lokasi pura di Pantai Senggigi ini sekitar 12 kilometer dari Kota Mataram ke arah utara. Dengan taksi, tarif bisa mencapai sekitar Rp 50.000. Setelah mengunjungi Pura Batu Bolong, wisatawan bisa melanjutkan ke Pantai Senggigi, Bukit Malimbu, dan menyeberang ke Gili Terawang karena satu arah perjalanannya. (Asita DK Suryanto)

Sumber : Kompas.com

Belajar Sejarah di Pasar Rakyat


KOMPAS/WAWAN H PRABOWO

Pasar Kintamani, Bangli, Bali, Minggu (28/8), ini merupakan situs peradaban tempat pertemuan antarmanusia, bukan sekadar tempat terjadinya transaksi antara pedagang dan pembeli।


Nur Hidayati & Yulia Sapthiani

KOMPAS.com - Mari kita jalan-jalan ke Pasar Gede, Solo; Pasar Beringharjo, Yogyakarta; Pasar Ikan, Jakarta; dan Pasar Kintamani, Bali. Dari pasar-pasar itu, orang bisa ”belanja” sejarah. Kita menikmati situs paling nyata untuk melihat perubahan sosial bangsa.

Siang itu cukup terik di Kota Solo. Dari dalam Pasar Gede, terdengar gamelan. Atmosfer Jawa pelan-pelan merambat dan membawa suasana jadi sejuk. Angin semilir pun bertiup dari kisi-kisi bangunan pasar yang dibangun dengan perhitungan saksama oleh Thomas Karsten (1884-1945).

Gamelan di Pasar Gede pada Selasa (18/10/2011) siang itu ditabuh oleh 18 pedagang. Setiap hari pukul 14.00-16.00 sebagian pedagang menutup kios dan los dagangan mereka untuk berlatih menabuh gamelan. Seperangkat gamelan jawa yang tersimpan di satu ruangan pasar dibeli dari hasil iuran dan sumbangan para pedagang setempat.

Bukan hanya berkarawitan. Sejak dua tahun lalu, para pedagang di pasar tersebut juga berolahraga sore dengan melakukan senam, renang, bahkan fitness. Mereka secara bergiliran akan menuju ke lantai dua di sisi timur bangunan pasar untuk berolahraga. ”Kami kan juga mau sehat,” ujar Win, seorang mbakyu bakul buah.

Ruang yang terasa lapang itu melegakan Nuril (34) yang menggandeng dua anaknya, Caca (5) dan Cika (3), serta menggendong Cila (8 bulan) ke pasar. Tak hanya berbelanja jeruk di pedagang langganannya, ia malah disuguhi empat teh botol dingin. Pedagang jeruk yang dikunjunginya tak lain ibu dari bekas muridnya dulu di taman kanak-kanak. Mereka lalu bertukar kabar dalam keriuhan pasar.

Pasar Gede Hardjonagoro—biasa disebut Pasar Gede atau Sargede saja oleh wong Solo—dibangun tahun 1929 di atas tanah milik Keraton Kesunanan Surakarta dan diresmikan setahun kemudian. Pasar ini disebut sebagai salah satu masterpiece Thomas Karsten, arsitek keturunan Belanda yang merancangnya.

Sejarawan dari UNS Solo, Soedarmono, mengingatkan, ”pasar gede” sebenarnya merupakan jejak yang bisa ditemukan di setiap bekas Kerajaan Mataram, seperti Hardjonagoro di Solo, Beringharjo di Yogyakarta, juga pasar di Kotagede yang menjadi cikal bakal Keraton Mataram.

Dalam budaya Mataram, keraton, pasar, dan masjid berhubungan dalam relasi segitiga keseimbangan hidup. ”Pasar sebagai simbol matahari terbit atau kegiatan pagi harus ada di sebelah timur keraton, sedangkan masjid merupakan simbol matahari terbenam yang harus ada di sebelah barat keraton,” ujar Soedarmono.

Pasar ini dibangun di lingkungan permukiman warga peranakan Tionghoa di Solo. Di lokasi yang sama, sebelumnya tumbuh pasar dan kelenteng tempat ibadah warga peranakan itu. Sampai saat ini, Kelenteng Tien Kok Sie berdiri berdampingan dengan pasar. Di Pasar Gede pula, beberapa tahun ini puncak perayaan Imlek digelar dengan lingkungan yang berhias lampion dan diramaikan atraksi barongsai.

Pasar Gede sampai saat ini tetap bertahan sebagai pusat grosir buah. Pasar ini memasok buah-buahan hingga ke Purwodadi, Cepu, Sragen, Kediri, Ngawi, Madiun, Wonogiri, Pacitan, Klaten, dan Yogyakarta.

Seperti juga Pasar Gede, Pasar Beringharjo di Yogyakarta memiliki riwayat ”menyatu” dengan sejarah Keraton Yogyakarta. Lahan di mana Pasar Beringharjo kini berada sudah dijadikan pasar oleh Sultan Hamengku Buwono I pada 1758. Pembangunan fisik pasar itu dilakukan Pemerintah Hindia Belanda pada 1925, sedangkan penyebutan Beringharjo diberikan Sultan Hamengku Buwono IX.

Pasar Beringharjo telah berulang kali dipugar dan diperluas. Sisa bangunan lamanya dapat ditemukan di bagian depan lantai satu. Namun, jejak ”berumur” itu tak bersisa di lantai dua dan tiga. Untuk naik ke lantai atas pasar ini, disediakan eskalator.

”Bangunannya sekarang sudah tidak lagi seperti pasar tradisional, tetapi cara berjualannya tidak modern benar karena pembeli tetap harus pintar menawar,” ujar Guru Besar Sosiologi UGM Tadjudin Noer Effendi.

Menurut Tadjudin, saat ini rasa memiliki masyarakat Yogyakarta terhadap pasar yang bernilai sejarah tinggi itu sudah merosot. ”Beringharjo seperti lebih untuk konsumsi turis yang ingin membeli batik atau cendera mata, bukan buat masyarakat Yogya sendiri,” ujarnya.

Tadjudin berpendapat, hal itu terjadi, selain karena fisik pasarnya ”bersalin rupa”, juga karena sebagian produk yang dijual tak lagi produksi Yogyakarta. Intinya, Beringharjo sedang beringsut memasuki era perubahan, tetapi gamang merumuskan dirinya sebagai pasar yang punya sejarah panjang.

Pasar Ikan

Jika Pasar Gede, Solo, terus menggeliat dan memperbarui ”sistem” kekerabatannya, Pasar Ikan Penjaringan, Jakarta Utara, nyaris tinggal puing. Pasar Ikan sekarang tinggal nama jalan, di mana ada bekas pelelangan ikan, gudang VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), dan menara Syahbandar berlokasi.

Di Pasar Ikan, dahulu, tutur Rukiah (66), bekas pedagang ikan di era kejayaan Pasar Ikan, hampir sepanjang hari ramai. Rukiah menunjuk sebuah aula tempat ia pernah berjualan ikan sejak tahun 1965. ”Selain pedagang kecil, juga banyak bos yang suka ikut lelang ikan. Pokoknya ramai, apalagi hari Minggu,” katanya. Selain dari Jakarta, pembeli ikan bahkan berasal dari Bandung, Bogor, dan Bekasi.

Memasuki tahun 2000-an, kondisi berubah total. Nelayan memilih menjual ikan tangkapan mereka ke Muara Angke dan Muara Baru. Pada tahun 2005, bahkan aktivitas pasar ikan nyaris berhenti total. Bangunan seluas 1.000 meter persegi kini sunyi senyap ibarat puing-puing sejarah yang ditinggalkan.

Di sekitar Jalan Pasar Ikan kini tak ubahnya seperti pasar lain di wilayah-wilayah urban. Dipenuhi pedagang pangan dan sandang kebutuhan hidup sehari-hari. Tak ada yang istimewa kecuali bangunan-bangunan tinggalan zaman kolonial yang menjadi tanda peradaban aktivitas pelabuhan besar masa lalu.

Transaksional

Pasar Kintamani di Bali barangkali mewakili satu era di mana pertemuan antara kultur tradisi pedalaman dan perkotaan yang urban begitu kasatmata. ”Jika kita di kota mungkin tanpa sadar, tiba-tiba semua sudah berubah demikian cepat. Mal-mal tumbuh pun kadang kita tak awas,” ujar sosiolog Putu Suasta.

Pasar Kintamani di satu sisi jelas menjadi situs ekonomi yang dibutuhkan untuk menggerakkan kehidupan di pedalaman perbukitan Gunung Batur, tetapi juga menjadi situs sosial yang masih tersisa di Bali. ”Tanpa pasar, sulit membayangkan masyarakat Kintamani bisa hidup dan maju. Tidak saja dalam pengertian ekonomi, tetapi juga peradaban,” ujar Suasta.

Bagaimana sistem kekerabatan yang dibangun di Pasar Gede mampu bertahan sampai sekarang? Mungkin karena sebagian besar pedagang mewariskan kios, los, atau lapak mereka secara turun-temurun.

Selain itu, usaha yang dibangun Kepala Pasar Gede Solo Sujarwadi juga turut andil. Selain membentuk kelompok karawitan Sekar Mayang, ia juga memberikan ruang masuk bagi gaya hidup urban, seperti olahraga, senam, renang, dan kebugaran. ”Sedang disiapkan satu kelompok belajar karawitan yang anggotanya pemulung, kuli panggul, juru parkir, dan pengemudi becak,” kata Sujawardi.

Sistem kekerabatan seperti inilah yang sulit ditemukan di pasar-pasar modern sekarang ini. Relasi antarmanusia senantiasa dimaknai secara ekonomi, dengan pertimbangan untung dan rugi. Kehidupan semacam ini, menurut Suasta, bisa berpengaruh dalam segala sisi kehidupan manusia. ”Makanya politik pun sekarang transaksional semua,” katanya. (Putu Fajar Arcana)

Sumber : Kompas.com

Bali Kembali Jadi Lokasi "Shooting" Film Hollywood



Puskompub Kemenparekraf
Menteri Pariwisata dan Ekononomi Kreatif Mari Elka Pangestu bersama sutradara Rob Cohen, Direktur Perfilman Kemenparekraf Syamsul Lussa, dan Kepala Pusat Komunikasi Publik I Gusti Ngurah Putra dalam tinjauan ke lokasi syuting film "I, Alex Cross" di pesisir timur Pantai Jasri, Candidasa, Karangasem, Bali

KARANGASEM, KOMPAS.com — Setelah tahun lalu menjadi lokasi shooting film Eat, Pray, Love yang dibintangi Julia Roberts, kali ini Bali kembali dipilih sebagai lokasi film dengan judul I, Alex Cross. Film yang disutradarai oleh Rob Cohen ini dibuat berdasarkan karakter Alex Cross yang sering muncul dalam novel populer karya James Patterson.

Rob Cohen yang terkenal lewat karya Fast and The Furious ini memilih pesisir timur Pantai Jasri, Candidasa, Karangasem, Bali, sebagai lokasi untuk adegan klimaks film. Tak bisa dimungkiri, sejak tahun 1930-an, Bali memang memiliki daya tarik tersendiri bagi para penulis dan sutradara film karena pesona alamnya.

"Pemilihan lokasi shooting di Indonesia merupakan suatu kesempatan untuk memperkenalkan destinasi dan budaya Indonesia, memberikan kesempatan kepada industri film (industri kreatif) di Indonesia untuk berpartisipasi pada pembuatan film ini," kata Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu saat mengunjungi lokasi shooting film tersebut di Karangasem, Sabtu (22/10/2011).

Di samping itu, Mari menuturkan, hal ini juga akan memperkuat branding atau image Indonesia di mata dunia sehingga diharapkan akan berdampak pada kunjungan wisatawan mancanegara.

Aktor utama film yang akan dirilis pada pertengahan tahun 2012 ini adalah Tyler Perry. Dia berperan sebagai seorang detektif bernama Alex Cross, yang melacak keberadaan pembunuh bernama Gilles Mercier.

Tokoh Gilles Mercier diperankan oleh Jean Reno, aktor Perancis yang terkenal antara lain karena perannya di film Leon: The Professional, Godzilla, The Da Vinci Code, dan The Pink Panther. Film yang difasilitasi oleh Bali Film Center ini rencananya akan melibatkan 35 kru lokal dan 20 pemeran pendukung dari Indonesia. (Puskompub)

Sumber : Kompas.com

Angklung dan Poco-Poco Menggoyang Los Angeles


Dok Konjen RI di LA
Ribuan orang sangat bersemangat memainkan angklung di kawasan The Grove, Los Angeles, Rabu (26/10/2011)

LOS ANGELES, KOMPAS.com - Ribuan orang sangat bersemangat memainkan angklung di kawasan The Grove, Los Angeles, Rabu (26/10/2011). Di bawah arahan Mustika Hendraningstyas mereka memainkan lagu tradisional Indonesia dan lagu-lagu barat dengan angklung di tangan masing-masing.

"Pengenalan angklung ke warga AS merupakan bagian dari promosi pariwisata dan ekonomi kreatif Indonesia. Acara Discover Wonderful Indonesiaini merupakan kerjasama antara Kementrian Pariwisata dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Los Angeles," kata Hadi Martono, Konjen KJRI Los Angeles, dalam surat elektronik yang diterima Kompas pada Kamis (27/10/2011).

Selain memainkan angklung, ribuan warga AS itu juga diajak menari poco-poco dan menikmati kuliner khas Indonesia. Setelah itu, mereka dipersilakan untuk melihat promosi lokasi-lokasi wisata Indonesia dan barang-barang kerajinan tanah air.

"Ternyata Indonesia memiliki banyak lokasi wisata yang menarik. Budaya, tarian, musik, dan makanannya juga sangat eksotik dan menggoda. Saya jadi ingin ke Indonesia suatu hari nanti," kata Angela, salah satu pengunjung.

Menurut Konsul Pariwisata KJRI Los Angeles, Edi Suharto, The Grove dipilih sebagai lokasi promosi karena didatangi sekitar 45।000 sampai 50.000 orang setiap hari. Permainan angklung dan tarian poco-poco diperkirakan dapat menyedot pengunjung sampai 15.000 orang.

Sumber : kompas.com

Pertunjukan Seni Indonesia di Kunming Pukau Pengunjung

Aris Prasetyo/KOMPAS Pertunjukan seni Indonesia di acara China International Travel Mart (CITM) 2011, Kamis (27/10), di Kunming, Provinsi Yunnan, China, memukau pengunjung yang hadir.


KUNMING, KOMPAS.com - Pertunjukan seni Indonesia di acara China International Travel Mart (CITM) 2011, Kamis (27/10), di Kunming, Provinsi Yunnan, China, memukau pengunjung yang hadir.

Pada panggung utama acara tersebut, Indonesia menampilkan tarian barong dari Bali, permainan alat musik sasando rote, dan grup musik Trio Batak. Tepuk tangan pengunjung pada bursa pameran pariwisata tersebut pecah saat tarian barong dari Bali beraksi di atas panggung.

Wartawan Kompas Aris Prasetyo dari Kunming, China melaporkan, suasana makin meriah saat Jackob Hendrich A Bullan memainkan lagu-lagu daerah Indonesia dengan iringan alat musik sasando rote. Antusias pengunjung belum reda ketika grup musik Trio Batak tampil mengakhiri pertunjukan seni mewakili Indonesia di acara tersebut.

Lagu daerah yang dinyanyikan Jackob dengan iringan sasando rote adalah O Doben Fura dan Mai Fali dari Nusa Tenggara Timur. Sementara lagu daerah yang dibawakan Trio Batak adalah A Sing Sing So, Rosita, dan Baringin.

Suasana makin meriah saat Trio Batak menyanyikan lagu China, Apia Acia Enya, yang direspon penonton. Beberapa penonton asal China ikut bernyanyi riang di depan panggung.

"Menarik sekali penampilan mereka। Saya suka melihatnya," kata Jenny Ling, salah satu penonton. CITM 2011 di Kunming, China, diikuti 94 negara termasuk Indonesia dan tuan rumah China. Pada acara ini ditawarkan berbagai promosi wisata dari negara peserta. CITM 2011 akan berakhir pada Minggu (30/10/2011).

Sumber : Kompas.com

Selasa, 25 Oktober 2011

Karapan Sapi Di Pulau Madura

Selain terkenal dengan Sate Madura dan garamnya, Pulau Madura memiliki banyak kebudayaan yang masih terus dilestarikan. Salah satunya adalah tradisi Karapan sapi yang merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi. Karapan sapi sudah ada sebelum abad XV Masehi.

Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh sampai lima belas detik.

Karapan sapi merupakan acara yang prestisius bagi masyarakat Madura, pemilik sapi karapan akan merasa status sosialnya terangkat apabila sapinya bisa menjadi juara. Hewan memamah biak ini juga dijadikan alat investasi selain emas dan uang. Tak mengherankan, bila para pemilik sapi karapan akan mengerahkan segala daya upayanya untuk membuat sapi-sapinya menjadi pemenang dalam setiap musim karapan. Sekadar diketahui, sapi karapan umumnya dari Pulau Sapudi [baca: Atlet Sapi di Pesta Karapan]. Sejak dulu, pulau kecil yang terletak di ujung Timur Pulau Madura itu memang gudangnya sapi bibit unggul.

Kejuaraan dimulai dari tingkat Kecamatan dilanjutkan ke tingkat Kabupaten dan diteruskan sampai ketingkat Karisidenan. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di kota Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.

Kerapan sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura yang dinamakan saronen. Benar-benar meriah, apalagi alunan musik seronen menonjolkan perpaduan bunyi gendang, terompet, dan gong yang disertai tarian para pemainnya. Para pemusik seronen ini memang sengaja disewa oleh para pemilik sapi. Terutama untuk menyemangati anggota kontingen beserta sapi-sapinya sebelum karapan dimulai. [swaberita.com]

Ritual Kebo-Keboan : Kerbaupun Ikut Menari

Para kerbau manusia seperti kesurupan mengejar siapapun yang mengambil bibit padi yang ditanam. Masyarakat berebut, ikut berkelit untuk mendapatkan bibit padi itu karena dipercaya bisa digunakan sebagai tolak balak maupun keberuntungan. Hari semakin larut. Para ibu masih sibuk memasak kue dan menyiapkan perlengkapan sesaji di dapur. Berbagai jenis hewaan ternak telah terlelap tidur di kandangnya masing-masing. Di sisi lain, suara ramai namun damai di sepanjang jalan utama desa.

Laki-laki tua-muda, anak-anak, dan perempuanpun ikut membantu menyiapkan dan memasang hiasan perlengkapan upacara yang terdiri dari pala gumantung (buah-buahan yang bergantung, seperti pisang, jeruk, durian, dan mangga), pala kependhem (umbi-umbian dalam tanah, seperti ubi kayu, ketela, kacang tanah, kentang, talas, ganyong, jahe, dan lengkuas), dan pala kesampir (polong-polongan, seperti kacang panjang, kecipir, kara, dan bunci). Kesemuanya ditata dan dihias rapi sebagai lambang kesuburan dan kesejahteraan.

Itulah gambaran suasana yang terlihat pada awal sebuah upacara ritual kesuburan yang dilakukan masyarakat Using di Desa Alas Malang, upacara tersebut bertujuan untuk mendapatkan keselamatan, penyemhuhan, kesuburan, dan pembersihan diri dari Tuhan Yang Maha Esa.

Keesokan hari, pemandangan di desa itu sungguh menakjubkan. Berbagai pernik ornamen hiasan sudah terpajang, umbul-umbul, killing (baling-baling kicir angin), paglak (dangau tinggi di tengah sawah) terlihat megah di hamparan sawah dengan latar belakang Pegunungan Raung, Ijen, dan Gunung Merapi. Semua warga desa sudah siap dengan kue tradisional serta sesaji untuk upacara ritual. Hampir semua orang tampak anggun dengan busana adatnya.

Prosesi upacara diawali dengan selamatan di tengah jalan utama desa. Semua panganan diletakkan di atas tikar, lembar-lembar daun, nasi tumpeng di atas ancak (tempat yang terbuat dari batang daun pisang dan bambu). Lengkap dengan lauk pauk dan sayur yang ditata dalam takir (tempat yang terbuat dari daun pisang) serta masakan khas pecel pitik (ayam panggang yang diurap kelapa) telah siap. Seluruh elemen kampung terlibat, dari orang dewasa hingga anak-anak.

Doa dipimpin oleh tokoh agama Kyai, kemudian nasi tumpeng dan kue dibagikan kepada para pengunjung dan warga setempat sebagai berkat. Tiap-tiap warga menyiapkan kue untuk para kerabat atau pengunjung yang datang. Selanjutnya acara Ider bumi (prosesi mengelilingi kampung dari hilir hingga ke hulu kampung). Upacara bersama ini begitu unik dan menarik sekaligus memiliki dimensi dari masyarakat yang akar kepercayaan agraris dan spiritualnya masih kuat.

Acara ritual ini melibatkan seluruh elemen di kampung, mulai dari laki-laki, perempuan, tua-muda, dan anak-anak sampai sanak famili yang berada di luar kampung. Bahkan hampir seluruh kesenian adat yang ada di Banyuwangi juga terlibat. Ada gandrung, barong, janger, patrol, balaganjur, angklung paglak, jaranan, kuntulan, dan wayang kulit. Upacara ini tidak melulu seni pertunjukan terpadu tapi juga sebagai seni instalasi komunal yang memperlihatkan energi kualitas dan spiritual bersama.

Pada acara Ider Bumi, ritual Kebo-Keboan ini diawali dengan visualisasi Dewi Sri (Dewi Padi) yang ditandu oleh beberapa pengawal dengan pakaian khas. Puluhan laki-laki bertubuh kekar dengan dandanan dan bertingkah aneh seperti kerbau dihalau oleh para petani yang membawa hasil panennya. Suasana kian meriah karena diiringi alunan musik tradisional khas Using yang hinggar binggar.

Pada bagian akhir upacara adalah prosesi membajak sawah dan menanam bibit padi. Para kerbau manusia seperti kesurupan mengejar siapapun yang mengambil bibit padi yang ditanam. Masyarakat berebut, ikut berkelit untuk mendapatkan bibit padi itu karena dipercaya bisa digunakan sebagai tolak bala maupun keberuntungan. Kegiatan berakhir pada tengah hari. Sementara pada sore hari dan malam hari, kesenian tradisional disajikan, termasuk pementasan wayang kulit senuilam suntuk.

Ritual Kebo-Keboan adalah salah satu ragam seni budaya tradisi Banyuwangi disamping Ritual Seblang, Petik Laut, Rebo Pungkasan, Endog-endogan, Barong Ider Bumi yang telah diagendakan secara rutin oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. Bagi yang senang berpetualang, alam Banyuwangi menyediakan goa-goa angker dan hewan liar di Alas Purwo, ombak yang spektakuler di Pantai Plengkung, kawah yang menakjubkan di Gunung Ijen, mengintip Penyu bertelur di Sukamade dan masih banyak lagi panorama alam lain seperti air terjun, sungai berkelok-kelok serta sejuknya udara perkebunan cengkeh, coklat, karet, dan kopi. [perempuan.com]

UPACARA BARONG

Setelah Upacara Penyucian (Pasupati) Barong dan Rangda Sidakarya di Pura Dalem Karang Boma, Sawangan, Nusa Dua. Barong dan Rangda (Ratu Ayu) Sidakarya Mepajar di Pura Dalem Sidakarya. Mepajar merupakan Upacara dalam bentuk tarian sakral yang bertujuan untuk menjaga kesucian, kesejahteraan, dan keharmonisan warga penyungsung dan wilayah sekitarnya.

Sebelum Barong dan Rangda Sidakarya Mepajar, ditampilkan terlebih dahulu tarian Telek dan Jauk.

Tari Telek adalah tarian yang melambangkan keayuan/kelembutan dan keramah-tamahan seseorang. Tarian ini biasanya dibawakan oleh 4 orang. Telek ini sebagai sarana untuk memohon keselamatan bagi segala makhluk hidup di muka bumi dari ancaman marabahaya.

Tari Jauk: tarian ini menggambarkan seorang raksasa yang sedang berkelana. Penarinya pria, mengenakan busana yang terdiri dari awiran yang berlapis-lapis, ditambah dengan gelungan jauk dan kaos tangan yang berkuku panjang. Tarian ini lebih bersifat improvisasi dengan struktur koreografi yang fleksible.

Tari jauk bersifat keras seperti namanya, gerakannya pun bringas. energik dan gamelan yang mengirinya bertempo cepat. Tarian ini mempunyai standar gerakan sendiri. Topeng yang di pakai adalah topeng yang berwarna merah, yang melambangkan keberingasan sang raksasa.

Barong Ket atau Barong Keket adalah tari Barong yang banyak terdapat di Bali dan paling sering dipentaskan serta memiliki pebendaharaan gerak tari yang lengkap. DiIihat dari wujudnya, Barong Ket ini merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi dan boma. Badan Barong ini dihiasi dengan ukiran-ukiran dibuat dari kulit, ditempeli kaca cermin yang berkilauan dan bulunya dibuat dari perasok (serat dari daun sejenis tanaman mirip pandan), ijuk atau ada pula dari bulu burung gagak.

Untuk menarikannya Barong ini diperlukan dua orang penari yang disebut Juru Saluk / Juru Bapang, satu penari di bagian kepala d an yang lainnya di bagian pantat /ekornya. Tari Barong Keket ini melukiskan pertarungan antara kebajikan (dharma) dan kejahatan (adharma) yang merupakan dua hal yang selalu berlawanan (rwa bhineda). Tarian ini merupakan peninggalan kebudayaan pra-Hindu yang menggunakan boneka berwujud binatang berkaki empat atau manusia purba yang memiliki kekuatan magis. Topeng Barong dibuat dari kayu yang diambil dari tempat-tempat angker seperti kuburan, oleh sebab itu Barong merupakan benda sakral yang sangat disucikan oleh masyarakat Hindu di Bali. Secara mitologis, Barong Ket diidentikkan dengan raja hutan alias Banaspati Raja yang umumnya dikeramatkan di Pura Dalem yang ada dimasing-masing desa.

Rangda adalah ratu dari para leak dalam mitologi Bali . Makhluk yang menakutkan ini diceritakan sering menculik dan memakan anak kecil serta memimpin pasukan penyihir jahat melawan Barong , yang merupakan simbol kebaikan.

Diceritakan bahwa kemungkinan besar Rangda berasal dari Ratu Mahendradatta yang hidup di pulau Jawa pada abad ke-11 . Beliau diasingkan oleh raja Dharmodayana karena dituduh melakukan perbuatan sihir terhadap permaisuri kedua raja tersebut. Menurut legenda ia membalas dendam dengan menguasai setengah kerajaan tersebut, yang kemudian menjadi miliknya serta milik putra Dharmodayana, Erlangga . Kemudian ia digantikan oleh seseorang yang bijak. Rangda juga berarti janda .

Rangda sangatlah penting dalam mitologi Bali. Pertempurannya melawan Barong atau melawan Erlangga sering ditampilkan dalam tari-tarian. Tari ini sangatlah populer dan merupakan warisan penting dalam tradisi Bali. Rangda digambarkan sebagai seorang wanita dengan rambut panjang yang acak-acakan serta memiliki kuku panjang. Wajahnya menakutkan dan memiliki gigi yang tajam. [balilu
wih.blogspot.com]

Grebeg Besar Demak

Demak merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan rajanya Raden Patah. Disamping sebagai pusat pemerintahan, Demak sekaligus menjadi pusat penyebaran agama Islam di pulau Jawa. Bukti peninggalan sejarah masih berdiri dengan kukuh sampai sekarang, yaitu Masjid Agung Demak.

Penyebaran agama Islam di pulau Jawa dimulai pada abad XV dan dipelopori oleh Wali Sanga. Berbagai upaya dilakukan oleh para Wali dalam menyebarluaskan agama Islam. Berbagai halangan dan rintangan menghadang, salah satu diantaranya adalah masih kuatnya pengaruh Hindu dan Budha pada masyarakat Demak pada waktu itu. Pada akhirnya agama Islam dapat diterima masyarakat melalui pendekatan kultural para Wali dengan jalan mengajarkan agama Islam melalui kebudayaan/adat istiadat yang telah ada.

Setiap tanggal 10 Dzulhijah umat Islam memperingati Hari Raya Idul Adha dengan melaksanakan Sholat Ied dan dilanjutkan dengan penyembelihan hewan qurban. Pada waktu itu, di lingkungan Masjid Agung Demak diselenggarakan pula keramaian (grebeg) yang disisipi dengan syiar-syiar keagamaan, sebagai upaya penyebarluasan agama Islam oleh Wali Sanga. Sampai saat ini kegiatan tersebut masih tetap berlangsung, bahkan ditumbuh kembangkan.


Prosesi Grebeg Besar Demak


Dalam perkembangannya kemudian, Grebeg Besar Demak pada saat ini diramaikan dengan berbagai kegiatan, yaitu :

* Ziarah ke Makam Sultan Sultan Demak dan Sunan Kalijaga
* Pasar malam rakyat di Tembiring Jogo Indah
* Selamatan Tumpeng Sanga
* Sholat Ied
* Penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga


1. Ziarah ke makam Sultan Sultan Demak & Sunan Kalijaga.
Grebeg Besar Demak diawali dengan pelaksanaan ziarah oleh Bupati , Muspida dan segenap pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Demak, ke makam para Sultan Demak di lingkungan Masjid Agung Demak dan dilanjutkan dengan ziarah ke makam Sunan Kalijaga di Kadilangu. Kegiatan ziarah tersebut dilaksanakan pada jam 16.00 wib; kurang lebih 10 (sepuluh) hari menjelang tanggal 10 Dzulhijah.

2. Pasar malam rakyat di Tembiring Joglo Indah .
Untuk meramaikan perayaan Grebeg Besar di lapang an Tembiring Jogo Indah digelar pasar malam rakyat yang dimulai kurang lebih 10 (sepuluh) hari sebelum hari raya Idul Adha dan dibuka oleh Bupati Demak setelah ziarah ke makam Sultan-Sultan Demak dan Sunan Kalijaga. Pasar malam tersebut dipenuhi dengan berbagai macam dagangan, mulai dari barang barang kebutuhan sehari - hari sampai dengan mainan anak, hasil kerajinan, makanan/minuman, permainan anak-anak dan juga panggung pertunjukkan/hiburan.

3. Selamatan Tumpeng Sanga.
Selamatan Tumpeng Sanga dilaksanakan pada malam hari menjelang hari raya Idul Adha bertempat di Masjid Agung Demak.Sebelumnya kesembilan tumpeng tersebut dibawa dari Pendopo Kabupaten Demak dengan diiringi ulama, para santri, beserta Muspida dan tamu undangan lainnya menuju ke Masjid Agung Demak.Tumpeng yang berjumlah sembilan tersebut melambangkan Wali Sanga. Selamatan ini dilaksanakan dengan harapan agar seluruh masyarakat Demak diberikan berkah keselamatan dan kebahagiaan dunia akhiratdari Allah SWT.

Acara selamatan tersebut diawali dengan pengajian umum diteruskan dengan pembacaan doa. Sesudah itu Kepada para pengun jung dibagikan nasi bungkus. Pembagian nasi bungkus tersebut dimaksudkan agar para pengunjung tidak berebut tumpeng sanga. Sejak beberapa tahun terakhir tumpeng sanga tidak diberikan lagi kepada para pengunjung dan sebagai gantinya dibagikan nasi bungkus tersebut.

Pada saat yang sama di Kadilangu juga dilaksanakan kegiatan serupa, yaitu Selamatan Ancakan, selamatan tersebut bertujuan untuk memohon berkah Kepada Allah SWT agar sesepuh dan seluruh anggota panitia penjamasan dapat melaksnakan tugas dengan lancar tanpa halangan suatu apapun juga.

4. Sholat Ied

Pada tanggal 10 Dzulhijah Masjid Agung dipadati oleh umat Islam yang akan melaksanakan sholat Ied,Pada saat-saat seperti ini Masjid Agung Demak sudah tidak dapat lagi menampung para jama’ah karena penuh sesak dan melebar ke jalan raya, bahkan sebagaian melaksanakan sholat Ied di alun-alun.

Pada kesempatan tersebut Bupati Demak beserta Muspida melaksanakan sholat Ied di Masjid Agung Demak dan dilanjutkan dengan penyerahan hewan qurban dari Bupati Demak kepada panitia.5. Penjamasan Pusaka Peninggalan Sunan Kalijaga.
Setelah selesai Sholat Ied di makam Sunan Kalijaga, Kadilangu dilaksanakan penjamasan pusaka peninggalan Sunan Ka lijaga. Kedua pusaka tersebut adalah Kutang Ontokusuma dan Keris Kyai Cubruk. Konon Kutang Ontokusumo adalah berujud ageman yang dikiaskan sebagai agama Islam. Sedangkan keris Kyai Cubruk adalah keris pegangan santri yang dipakai Sunan Kalijaga setiap kali berdakwah, sebagai piyandel/pendorong semangat berdakwah.

Penjamasan pusaka-pusaka tersebut didasari oleh wasiat Sunan Kalijaga sebagai berikut : “Agemanku,besuk yen aku wis dikeparengake sowan ingkang Maha Kuwaos, selehna neng duwur peturonku. Kejaba kuwi sawise aku kukut, agemanku jamas ana“. Dengan dilaksanakan penjamasan tersebut, diharapkan umat Islam dapat kembali ke fitrahnya dengan mawas diri/mensucikan diri serta meningkatkan iman dan taqwa Kepada Allah SWT.

Prosesi penjamasan tersebut diawali dari Pendopo Kabupaten Demak , dimana sebelumnya dipentaskan pagelaran tari Bedhoyo Tunggal Jiwo. melambangkan “ Manunggale kawula lan gusti “ , yang dibawakan oleh 9 (sembilan) remaja putri.

Dalam perjalanan ke Kadilangu minyak jamas dikawal oleh bhayangkara kerajaan Demak Bintoro “Prajurit Patangpuluhan” dan diiringi kesenian tradisional Demak bersamaan dengan itu Bupati beserta rombongan menuju Kadilangu dengan mengendarai kereta berkuda.

Penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga dilaksana kan oleh petugas dibawah pimpinan Sesepuh Kadilangu di dalam cungkup gedong makam Sunan Kalijaga Kadilangu.

Sesepuh dan ahli waris percaya, bahwa ajaran Islam dari Rasulullah Muhammad SAW dan disebarluaskan oleh Sunan Kalijaga adalah benar.Oleh karena itu penjamasan dilakukan dengan mata tertutup. Hal tersebut mengandung makna, bahwa penjamas tidak melihat dengan mata telanjang, tetapi melihat dengan mata hati. Artinya ahli waris keturunan Sunan Kalijaga beserta umat Islam pada umumnya sudah bertekad bulat umtuk menjalankan ibadah dan mengamalkan ajaran Islam dengan sepenuh hati.

Dengan selesainya penjamasan pusaka peninggalan Sunan Kalijaga tersebut, maka berakhir pulalah rangkaian acara Grebeg Besar Demak.[wisatame.blogspot.com]

Pesona Pantai Teluk Penyu


Teluk Penyu merupakan kawasan pantai di selatan Kabupaten Cilacap, utamanya sepanjang pesisir dari Kecamatan Cilacap Selatan yang lokasinya tidak langsung berhubungan dengan Samudera Hindia atau Indonesia karena dikelilingi oleh Pulau Nusakambangan. Pantai Teluk Penyu berjarak 2 Km ke arah timur dari Pusat Pemerintahan Kabupaten Cilacap dan dapat dijangkau dengan kendaraan umum dan pribadi.

Teluk ini memiliki pemandangan yang indah dan menyegarkan dengan luas kira-kira 14 ha. Area Teluk Penyu yang biasa dikunjungi oleh para pengunjung (utamanya penduduk dan wisatawan lokal) biasanya mulai dari pelabuhan perikanan Samudera dari hingga bibir pantai yang biasa disebut Areal 70 (merujuk kepada sebutan masyarakat sekitar terhadap kawasan tangki-tangki penimbunan bahan bakar dari PT Pertamina UP IV). Dari Areal 70 kita bisa melihat langsung Pulau Nusakambangan dari bibir pantai. Tapi, Areal 70 hanya dibuka sampai pukul 6 sore dan lebih dari pukul 6 sore jalan akses menuju Areal 70 ditutup oleh petugas.

Di Areal 70 dekat dengan kilang minyak pengunjung juga dapat melihat objek wisata objek wisata sejarah Benteng Pendem. Benteng Pendem dahulunya merupakan markas pertahanan tentara Belanda di Cilacap, Jawa Tengah yang didisain oleh arsitek Belanda. Di dalam Banteng Pendem kita dapat melihat bangunan-bangunan peninggalan Belanda seperti barak, benteng pertahanan, benteng pengintai, ruang rapat, klinik pengobatan, gudang senjata, gudang mesiu, ruang penjara, dapur, ruang perwira, dan ruang peluru.

Kawasan wisata Pantai Teluk Penyu ini ramai dikunjungi pada waktu pagi dan sore hari oleh para penduduk Kota Cilacap. Mereka senang berkunjung pada waktu pagi dan sore hari karena pada waktu itu mereka dapat melihat pemandangan sunrise dan sunset yang sangat indah dari tepi pantai. Siang harinya lebih banyak dikunjungi oleh para wisatawan lokal, utamanya pada masa-masa libur sekolah atau pada hari-hari besar/libur. Setiap tanggal 1 Muharram atau tanggal 1 Suro kita dapat menyaksikan acara Sedekah Laut di Pantai Teluk Penyu. Sedekah laut adalah tradisi yang terus dipelihara masyarakat Cilacap. Setiap tahun upacara ini diselenggarakan, sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perlindungan dan rezeki bagi nelayan Cilacap. Tradisi ini juga sebagai wujud penghormatan kepada Ratu Pantai Selatan, Nyi Roro Kidul.

Di pantai ini kita dapat bermain ombak dan pasir atau hanya sekadar duduk-duduk di tanggul atau di bangunan pemecah ombak sambil menikmati deburan ombak dan segarnya angin laut. Namun, kalau mau berenang harus hati-hati karena ombaknya cukup besar. Puas bermain pasir dan air, kita bisa membilas tubuh dengan air bersih di kamar mandi yang sudah disediakan di tepi pantai. Jadi, sampai di rumah sudah bersih dan tidak gatal-gatal.

Selain bermain pasir dan air, kita juga dapat mengelilingi Pulau Nusakambangan menggunakan perahu kecil yang disewakan para nelayan. Bahkan saat hari Idul Fitri para nelayan akan membawa kita menepi di pantai pasir putih yang ada di tepi Pulau Nusakambangan.

Pengunjung tidak perlu takut kelaparan di sana karena di sepanjang pantai ada banyak warung atau pedagang kaki lima yang menyediakan beragam kuliner dengan harga terjangkau. Ada bakso, mie ayam, nasi goreng, rames, opor ayam, bubur ayam, dan masih banyak lagi. Dari arah pintu masuk area wisata Pantai Teluk Penyu juga banyak berdiri kios-kios/warung yang menjajakan ikan asin kering serta ikan-ikan segar/basah yang siap langsung dibakar atau dimasak sesuai dengan keinginan kita. Selain itu, kita juga dapat membeli aneka kerajinan kerang dan souvenir lainnya untuk cinderamata di sepanjang koridor jalan masuk lokasi wisata ini.

Untuk menikmati panorama laut Pantai Teluk Penyu kita cukup membayar tiket masuk sebesar dua ribu lima ratus rupiah per orang. Tapi, kalau kita datang ke pantai sebelum pukul tujuh pagi kita tidak perlu membayar tiket masuk alias gratis karena petugas penjual tiketnya baru datang setelah pukul tujuh pagi.[dinapooh.wordpress.com]

Eksotisme Pulau Lepar dan Pulau Pongok

Letaknya yang berhadapan langsung dengan Pulau Sadai, Pulau Lepar dan Pulau Pongok terlihat sangat bersih, sehingga membuat banyak orang betah berenang di pantai sekitar itu. Selat kecil yang memisahkan Pulau Lepar dan Pongok dengan Sadai juga kaya akan ikan. Selain memancing, pengunjung bisa langsung menikmati hasil pancingannya. Menikmati ikan bakar sambil memandang birunya lautan dan desah angina bisa membuat orang betah berlama-lama di pulau itu.

Bagi yang ingin menikmati birunya lautan memang cukup berenang dipinggiran pantai, sedangkan pengunjung yang senang menikmati keindahan laut bisa menyewa perahu layar. Selain berenang pengunjung bisa melepas lelah sambil menikmati air kelapa muda yang segar. Rasanya tak lengkap bila seharian berenang dan tidak menikmati kesegaran air kelapa muda itu. Ramainya pengunjung ke Pantai Sadai tampaknya juga di picu dengan Pulau Lepar dan Pulau Pongok. Keindahan Pantai Sadai tidak berbeda dengan pantai lain yang menawan di seantero Pulau Bangka.

Pulau Lepar dan Pongok memang unik. Satu-satunya kecamatan yang dipisahkan lautan di Pulau Bangka. Kemana-mana laut. Desa-desanya pun kebanyak terpisah. Penduduk berjumlah 12.567 jiwa dari 6 desa tersebar di 25 pulau. Hanya penutuk, Tanjunglabu, Tanjungsangkar dan Kumbung menyatu sebagian, sebab beberapa penduduk Kumpung pun berada di Pulau Tinggi dan Pulau Panjang. Celagen dan Pongok berada di Pulau Pongok.

Pulau-pulau inilah yang membuat kecamatan ini kaya daerah wisata. Berjalan cepat dengan speed, memandangi satu persatu pulau yang masih hijau, menjadi pengalaman eksotik yang susah dilupakan.

Anda juga bisa menyewa angkutan umum masyarakat berupa perahu yang bisa memuat lebih dari 20 orang. Berlayar perlahan di atas laut biru. Tentunya bila angin sedang tidak kencang, memudahkan pelancong mengabadikan panorama alam.

Apalagi perjalanan dimulai ketika matahari menjelang di ufuk timur, sinar kemerahan menyembul kontras dengan hamparan laut nan biru, solah muncul dari seberang. Subuah peristiwa langka yang bisa disaksikan di sini. Begitupun kala sore, matahari perlahan hilang seakan bersembunyi di balik Pulai Tinggi.

Bagi penyuka olahraga selam, hamparan terumbu karang, berbagai jenis ikan, spot karang hidup, vegetasi padang lamun dan makro algae, serta banyak lagi lainnya akan menjadi pemandangan menawan menghilangkan kebosanan. Sulit ditemukan ditemukan di daerah lainnya di bangka, akibat dihancurkan oleh penambangan dikawasan laut.

Jika anda suka memancing bila sedang musim ikan, tak usah jauh-jauh ke tengah laut dengan waktu tempuh berjam-jam, yang kadang malah mengancam keselamatan jiwa. Anda cukup berhenti antara Sadai – Penutuk, 10 menit naik perahu nelayan. Sopir perahu sudah tahu di mana saja lokasi karang tempat ikan seminyak, merah dan berberbagai jenis ikan lainnya.

Manakala malam tiba, kerlap-kerlip lampu-lampu di Sadai-Penutuk menjadi pemandangan lainnya. Pukul 23.00 WIB, Sadai-Penutuk benar-benar sunyi. Kesunyiannya bisa membuat sadar kesendirian kita, toh nantinya pun kita akan sendiri, sebuah wisata spiritual yang luar biasa. [Majalah Nuansa Persada]

YUDISTIRA

Puntadewa merupakan anak kandung Pandu yang lahir di istana Hastinapura. Kedatangan Bhatara Dharma hanya sekadar menolong kelahiran Puntadewa dan memberi restu untuknya. Berkat bantuan dewa tersebut, Puntadewa lahir melalui ubun-ubun Kunti. Dalam pewayangan Jawa, nama Puntadewa lebih sering dipakai, sedangkan nama Yudistira baru digunakan setelah ia dewasa dan menjadi raja. Versi ini melukiskan Puntadewa sebagai seorang manusia berdarah putih, yang merupakan kiasan bahwa ia adalah sosok berhati suci dan selalu menegakkan kebenaran.

Masa kecil dan pendidikan


Yudistira dan keempat adiknya, yaitu Bima (Bimasena), Arjuna, Nakula, dan Sadewa kembali ke Hastinapura setelah ayah mereka (Pandu) meninggal dunia. Adapun kelima putera Pandu itu terkenal dengan sebutan para Pandawa, yang semua lahir melalui mantra Adityahredaya. Kedatangan para Pandawa membuat sepupu mereka, yaitu para Korawa yang dipimpin Duryodana merasa cemas. Putera-putera Dretarastra itu takut kalau Pandawa sampai berkuasa di kerajaan Kuru. Dengan berbagai cara mereka berusaha menyingkirkan kelima Pandawa, terutama Bima yang dianggap paling kuat. Di lain pihak, Yudistira selalu berusaha untuk menyabarkan Bima supaya tidak membalas perbuatan para Korawa.

Pandawa dan Korawa kemudian mempelajari ilmu agama, hukum, dan tata negara kepada Resi Krepa. Dalam pendidikan tersebut, Yudistira tampil sebagai murid yang paling pandai. Krepa sangat mendukung apabila tahta Hastinapura diserahkan kepada Pandawa tertua itu. Setelah itu, Pandawa dan Korawa berguru ilmu perang kepada Resi Drona. Dalam pendidikan kedua ini, Arjuna tampil sebagai murid yang paling pandai, terutama dalam ilmu memanah. Sementara itu, Yudistira sendiri lebih terampil dalam menggunakan senjata tombak.

Konflik memperebutkan kerajaan

Selama Pandu hidup di hutan sampai akhirnya meninggal dunia, tahta Hastinapura untuk sementara dipegang oleh kakaknya, yaitu Dretarastra, ayah para Korawa. Ketika Yudistira menginjak usia dewasa, sudah tiba saatnya bagi Dretarastra untuk menyerahkan tahta kepada Yudhisthira, selaku putera sulung Pandu. Sementara itu putera sulung Dretarastra, yaitu Duryodana berusaha keras merebut tahta dan menyingkirkan Pandawa. Dengan bantuan pamannya dari pihak ibu, yaitu Sangkuni, Duryodana pura-pura menjamu kelima sepupunya itu dalam sebuah gedung di Waranawata, dimana gedung itu terbuat dari bahan yang mudah terbakar.

Ketika malam tiba, para Korawa membakar gedung tempat para Pandawa dan Kunti, ibu mereka, tidur. Namun, Yudistira sudah mempersiapkan diri karena rencana pembunuhan itu telah terdengar oleh pamannya, yaitu Widura adik Pandu. Akibatnya, kelima Pandawa dan Kunti berhasil lolos dari maut. Pandawa dan Kunti kemudian menjalani berbagai pengalaman sulit.

Raja Indraprastha


Setelah menikahi Dropadi, para Pandawa kembali ke Hastinapura dan memperoleh sambutan luar biasa, kecuali dari pihak Duryodana. Persaingan antara Pandawa dan Korawa atas tahta Hastinapura kembali terjadi. Para sesepuh akhirnya sepakat untuk memberi Pandawa sebagian dari wilayah kerajaan tersebut.

Korawa yang licik mendapatkan istana Hastinapura, sedangkan Pandawa mendapatkan hutan Kandawaprastha sebagai tempat untuk membangun istana baru. Meskipun daerah tersebut sangat gersang dan angker, namun para Pandawa mau menerima wilayah tersebut. Selain wilayahnya yang seluas hampir setengah wilayah kerajaan Kuru, Kandawaprastha juga merupakan ibukota kerajaan Kuru yang dulu, sebelum Hastinapura. Para Pandawa dibantu sepupu mereka, yaitu Kresna dan Baladewa, dan berhasil membuka Kandawaprastha menjadi pemukiman baru.

Para Pandawa kemudian memperoleh bantuan dari Wiswakarma, yaitu ahli bangunan dari kahyangan, dan juga Anggaraparna dari bangsa Gandharwa. Maka terciptalah sebuah istana megah dan indah bernama Indraprastha, yang bermakna "kota Dewa Indra".

Pembangunan kerajaan Amarta

Dalam versi pewayangan Jawa, nama Indraprastha lebih terkenal dengan sebutan kerajaan Amarta. Menurut versi ini, hutan yang dibuka para Pandawa bukan bernama Kandawaprastha, melainkan bernama Wanamarta.

Versi Jawa mengisahkan, setelah sayembara Dropadi, para Pandawa tidak kembali ke Hastinapura melainkan menuju kerajaan Wirata, tempat kerabat mereka yang bernama Prabu Matsyapati berkuasa. Matsyapati yang bersimpati pada pengalaman Pandawa menyarankan agar mereka membuka kawasan hutan tak bertuan bernama Wanamarta menjadi sebuah kerajaan baru. Hutan Wanamarta dihuni oleh berbagai makhluk halus yang dipimpin oleh lima bersaudara, bernama Yudistira, Danduncana, Suparta, Sapujagad, dan Sapulebu. Pekerjaan Pandawa dalam membuka hutan tersebut mengalami banyak rintangan. Akhirnya setelah melalui suatu percakapan, para makhluk halus merelakan Wanamarta kepada para Pandawa.

Yudistira kemudian memindahkan istana Amarta dari alam jin ke alam nyata untuk dihuni para Pandawa. Setelah itu, ia dan keempat adiknya menghilang. Salah satu versi menyebut kelimanya masing-masing menyatu ke dalam diri lima Pandawa. Puntadewa kemudian menjadi Raja Amarta setelah didesak dan dipaksa oleh keempat adiknya. Untuk mengenang dan menghormati raja jin yang telah memberinya istana, Puntadewa pun memakai gelar Prabu Yudistira.

Anugerah Ketentraman

Setelah menjadi Raja Amarta, Puntadewa berusaha keras untuk memakmurkan negaranya. Konon terdengar berita bahwa barang siapa yang bisa menikahi puteri Kerajaan Slagahima yang bernama Dewi Kuntulwinanten, maka negeri tempat ia tinggal akan menjadi makmur dan sejahtera. Puntadewa sendiri telah memutuskan untuk memiliki seorang istri saja. Namun karena Dropadi mengizinkannya menikah lagi demi kemakmuran negara, maka ia pun berangkat menuju Kerajaan Slagahima. Di istana Slagahima telah berkumpul sekian banyak raja dan pangeran yang datang melamar Kuntulwinanten. Namun sang puteri hanya sudi menikah dengan seseorang yang berhati suci, dan ia menemukan kriteria itu dalam diri Puntadewa. Kemudian Kuntulwinanten tiba-tiba musnah dan menyatu ke dalam diri Puntadewa. Sebenarnya Kuntulwinanten bukan manusia asli, melainkan wujud penjelmaan anugerah dewata untuk seorang raja adil yang hanya memikirkan kesejahteraan negaranya. Sedangkan anak raja Slagahima yang asli bernama Tambakganggeng. Ia kemudian mengabdi kepada Puntadewa dan diangkat sebagai patih di kerajaan Amarta.

Upacara Rajasuya

Kitab Mahabharata bagian kedua atau Sabhaparwa mengisahkan niat Yudistira untuk menyelenggarakan upacara Rajasuya demi menyebarkan dharma dan menyingkirkan raja-raja angkara murka. Bima, Arjuna, Nakula, dan Sadewa memimpin tentara masing-masing ke empat penjuru Bharatawarsha (India Kuno) untuk mengumpulkan upeti dalam penyelenggaraan upacara agung tersebut.

Pada saat yang sama, seorang raja angkara murka juga mengadakan upacara mengorbankan seratus orang raja. Raja tersebut bernama Jarasanda dari kerajaan Magadha. Yudistira mengirim Bima dan Arjuna dengan didampingi Kresna sebagai penasihat untuk menumpas Jarasanda. Akhirnya, melalui sebuah pertandingan seru, Bima berhasil membunuh Jarasanda.

Setelah semua persyaratan terpenuhi, Yudistira melaksanakan upacara Rajasuya yang dihadiri sekian banyak kaum raja dan pendeta. Dalam kesempatan itu, Yudistira ditetapkan sebagai Maharajadhiraja. Kemudian muncul seorang sekutu Jarasanda bernama Sisupala yang menghina Kresna di depan umum. Setelah melewati penghinaan ke-100, Krishna akhirnya memenggal kepala Sisupala di depan umum.

Ketika menjadi tamu dalam acara Rajasuya, Duryodana sangat kagum sekaligus iri menyaksikan keindahan istana Indraprastha. Timbul niatnya untuk merebut kerajaan itu, apalagi setelah ia tersinggung oleh ucapan Dropadi dalam sebuah pertemuan. Sangkuni membantu niat Duryodhana dengan memanfaatkan kegemaran Yudistira terhadap permainan dadu. Yudistira memang seorang ahli agama, namun di sisi lain ia sangat menyukai permainan tersebut. Undangan Duryodana diterimanya dengan baik. Permainan dadu antara Pandawa melawan Korawa diadakan di istana Hastinapura. Mula-mula Yudistira hanya bertaruh kecil-kecilan. Namun semuanya jatuh ke tangan Duryodana berkat kepandaian Sakuni dalam melempar dadu.

Hasutan Sangkuni membuat Yudistira nekad mempertaruhkan semua hartanya, bahkan Indraprastha. Akhirnya, negeri yang dibangun dengan susah payah itu pun jatuh ke tangan lawan. Yudistira yang sudah gelap mata juga mempertaruhkan keempat adiknya secara berurutan. Keempatnya pun jatuh pula ke tangan Duryodana satu per satu, bahkan akhirnya Yudistira sendiri. Duryodana tetap memaksa Yudistira yang sudah kehilangan kemerdekaannya untuk melanjutkan permainan, dengan mempertaruhkan Dropadi. Akibatnya, Dropadi pun ikut bernasib sama.

Ratapan Dropadi saat dipermalukan di depan umum terdengar oleh Gandari, ibu para Korawa. Ia memerintahkan agar Duryodana menghentikan permainan dan mengembalikan semuanya kepada Pandawa. Dengan berat hati, Duryodhana terpaksa mematuhi perintah ibunya itu. Duryodana yang kecewa kembali menantang Yudistira beberapa waktu kemudian. Kali ini peraturannya diganti. Barang siapa yang kalah harus menyerahkan negara beserta isinya, dan menjalani hidup di hutan selama 12 tahun serta menyamar selama setahun di dalam sebuah kerajaan. Apabila penyamaran itu terbongkar, maka wajib mengulangi lagi pembuangan selama 12 tahun dan menyamar setahun, begitulah seterusnya. Akhirnya berkat kelicikan Sakuni, pihak Pandawa pun mengalami kekalahan untuk yang kedua kalinya. Sejak saat itu lima Pandawa dan Dropadi menjalani masa pembuangan mereka di hutan.

Kehidupan dalam Pembuangan

Kehidupan para Pandawa dan Dropadi dalam menjalani masa pembuangan selama 12 tahun di hutan dikisahkan pada jilid ketiga kitab Mahabharata yang dikenal dengan sebutan Wanaparwa.

Yudistira yang merasa paling bertanggung jawab atas apa yang menimpa keluarga dan negaranya berusaha untuk tetap tabah dalam menjalani hukuman. Ia sering berselisih paham dengan Bima yang ingin kembali ke Hastinapura untuk menumpas para Korawa. Meskipun demikian, Bima tetap tunduk dan patuh terhadap perintah Yudistira supaya menjalani hukuman sesuai perjanjian.

Suatu ketika para Korawa datang ke dalam hutan untuk berpesta demi menyiksa perasaan para Pandawa. Namun, mereka justru berselisih dengan kaum Gandharwa yang dipimpin Citrasena. Dalam peristiwa itu Duryodana tertangkap oleh Citrasena. Akan tetapi, Yudistira justru mengirim Bima dan Arjuna untuk menolong Duryodana. Ia mengancam akan berangkat sendiri apabila kedua adiknya itu menolak perintah. Akhirnya kedua Pandawa itu berhasil membebaskan Duryodana. Niat Duryodana datang ke hutan untuk menyiksa perasaan para Pandawa justru berakhir dengan rasa malu luar biasa yang ia rasakan.

Peristiwa lain yang terjadi adalah penculikan Dropadi oleh Jayadrata, adik ipar Duryodana. Bima dan Arjuna berhasil menangkap Jayadrata dan hampir saja membunuhnya. Yudistira muncul dan memaafkan raja kerajaan Sindu tersebut.

Peristiwa telaga beracun


Pada suatu hari menjelang berakhirnya masa pembuangan, Yudistira dan keempat adiknya membantu seorang brahmana yang kehilangan peralatan upacaranya karena tersangkut pada tanduk seekor rusa liar. Dalam pengejaran terhadap rusa itu, kelima Pandawa merasa haus. Yudistira pun menyuruh Sadewa mencari air minum. Karena lama tidak kembali, Nakula disuruh menyusul, kemudian Arjuna, lalu akhirnya Bima menyusul pula. Yudistira semakin cemas karena keempat adiknya tidak ada yang kembali.

Yudistira kemudian berangkat menyusul Pandawa dan menjumpai mereka telah tewas di tepi sebuah telaga. Muncul seorang raksasa yang mengaku sebagai pemilik telaga itu. Ia menceritakan bahwa keempat Pandawa tewas keracunan air telaganya karena mereka menolak menjawab pertanyaan sang raksasa. Sambil menahan haus, Yudistira mempersilakan Sang Raksasa untuk bertanya. Satu per satu pertanyaan demi pertanyaan berhasil ia jawab. Akhirnya, Sang Raksasa pun mengaku kalah, namun ia hanya sanggup menghidupkan satu orang saja. Dalam hal ini, Yudistira memilih Nakula untuk dihidupkan kembali. Raksasa heran karena Nakula adalah adik tiri, bukan adik kandung. Yudistira menjawab bahwa dirinya harus berlaku adil. Ayahnya, yaitu Pandu memiliki dua orang istri. Karena Yudistira lahir dari Kunti, maka yang dipilihnya untuk hidup kembali harus putera yang lahir dari Madri, yaitu Nakula.

Raksasa terkesan pada keadilan Yudistira. Ia pun kembali ke wujud aslinya, yaitu Dewa Dharma. Kedatangannya dengan menyamar sebagai rusa liar dan raksasa adalah untuk memberikan ujian kepada para Pandawa. Berkat keadilan dan ketulusan Yudistira, maka tidak hanya Nakula yang dihidupkan kembali, melainkan juga Bima, Arjuna, dan Sadewa.

Yudistira dalam masa penyamaran

Setelah 12 tahun menjalani pembuangan di hutan, kelima Pandawa dan Dropadi kemudian memasuki masa penyamaran selama setahun. Sebagai tempat persembunyian, mereka memilih Kerajaan Matsya yang dipimpin oleh Wirata. Kisah ini terdapat dalam kitab Mahabharata jilid keempat atau Wirataparwa.

Yudistira menyamar dengan nama Kanka di mana ia diterima sebagai kusir kereta Raja Wirata. Bima menjadi Balawa sebagai tukang masak, Arjuna menjadi Wrihanala sebagai banci guru tari, Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Dropadi menjadi Sailandri sebagai dayang istana.

Pada akhir tahun penyamaran Pandawa, terjadi peristiwa serangan kerajaan Kuru terhadap kekuasaan Wirata. Seluruh kekuatan kerajaan Matsya dikerahkan menghadapi tentara kerajaan Trigartha, sekutu Duryodhana. Akibatnya, istana Matsya menjadi kosong dan dalam keadaan terancam oleh serangan pasukan Hastinapura. Utara putera Wirata yang ditugasi menjaga istana, berangkat ditemani Wrihanala (Arjuna) sebagai kusir. Di medan perang Wrihanala membuka samaran dan tampil menghadapi pasukan Duryodana sebagai Arjuna. Seorang diri ia berhasil memukul mundur pasukan dari Hastinapura tersebut. Sementara itu, pasukan Wirata juga mendapat kemenangan atas pasukan Trigartha. Wirata dengan bangga memuji-muji kehebatan Utara yang berhasil mengalahkan para Korawa seorang diri. Kanka alias Yudistira menjelaskan bahwa kunci kemenangan Utara adalah Wrihanala. Hal itu membuat Wirata tersinggung dan memukul kepala Kanka sampai berdarah.

Dalam versi pewayangan Jawa, Wirata adalah nama kerajaan, bukan nama orang. Sedangkan rajanya bernama Matsyapati. Dalam kerajaan tersebut, Yudistira atau Puntadewa menyamar sebagai pengelola pasar ibu kota bernama Dwijakangka.

Saat batas waktu penyamaran telah genap setahun, kelima Pandawa dan Dropadi pun membuka penyamaran. Mengetahui hal itu, Wirata merasa sangat menyesal telah memperlakukan mereka dengan buruk. Ia pun berjanji akan menjadi sekutu Pandawa dalam usaha mendapatkan kembali takhta Indraprastha.

Yudistira saat Bharatayuddha

Ketika para Pandawa pulang ke Hastinapura demi menuntut hak yang seharusnya mereka terima, Duryodana bersikap sinis terhadap mereka. Ia tidak mau menyerahkan Hastinapura kepada Yudistira. Berbagai usaha damai dilancarkan pihak Pandawa namun selalu ditolak oleh Duryodana. Bahkan, Duryodana tetap menolak ketika Yudistira hanya meminta lima buah desa saja, bukan seluruh Indraprastha. Pada puncaknya, Duryodana berusaha membunuh duta Pandawa, yaitu Kresna, namun gagal.

Perang antara Pandawa dan Korawa tidak dapat lagi dihindari. Para pujangga Jawa menyebut peristiwa itu dengan nama Bharatayuddha. Sementara itu dalam Mahabharata kisah perang besar tersebut ditemukan pada jilid keenam sampai kesepuluh.

Awal pertempuran

Pada bagian Bhismaparwa dikisahkan bahwa sebelum perang hari pertama dimulai, Yudistira turun dari keretanya berjalan kaki ke arah pasukan Korawa yang berbaris di hadapannya. Duryodana mengejeknya sebagai pengecut yang langsung menyerah begitu melihat kekuatan Korawa dan sekutu mereka. Namun, kedatangan Yudistira bukan untuk menyerah, melainkan meminta doa restu kepada empat sesepuh yang berperang di pihak lawan. Mereka adalah Bisma, Krepa, Drona, dan Salya. Keempatnya mendoakan semoga pihak Pandawa menang. Hal itu tentu saja membuat Duryodana sakit hati.

Yudistira kembali ke pasukannya. Ia mempersilakan siapa saja yang ingin pindah pasukan sebelum perang benar-benar dimulai. Ternyata yang pindah justru adik tiri Duryodhana yang lahir dari selir, bernama Yuyutsu, yang bergerak meninggalkan Korawa untuk bergabung bersama Pandawa.

Pertempuran melawan Drona


Bisma memimpin pasukan Korawa selama sepuluh hari. Setelah ia tumbang, kedudukannya digantikan oleh Drona, yang mendapat amanat dari Duryodana supaya menangkap Yudistira hidup-hidup. Drona senang atas tugas tersebut, padahal niat Duryodana adalah menjadikan Yudistira sebagai sandera untuk memaksa para pendukungnya menyerah. Berbagai cara dilancarkan Drona untuk menangkap Yudistira. Tidak terhitung banyaknya sekutu Pandawa yang tewas di tangan Drona karena melindungi Yudistira, misalnya Drupada dan Wirata.

Akhirnya pada hari ke-15, penasihat Pandawa, yaitu Kresna menemukan cara untuk mengalahkan Drona, yaitu dengan mengumumkan berita kematian seekor gajah bernama Aswatama. Aswatama juga merupakan nama putera tunggal Drona. Kemiripan nama tersebut dimanfaatkan oleh Kresna untuk menipu Drona. Atas perintah Kresna, Bima segera membunuh gajah itu dan berteriak mengumumkan kematiannya. Drona cemas mendengar berita kematian Aswatama. Ia segera mendatangi Yudistira yang dianggapnya sebagai manusia paling jujur untuk bertanya tentang kebenaran berita tersebut. Yudistira terpaksa bersikap tidak jujur. Ia membenarkan berita kematian Aswatama tanpa berusaha menjelaskan bahwa yang mati adalah gajah, bukan putera Drona.

Jawaban Yudistira itu membuat Drona jatuh lemas. Ia membuang semua senjatanya dan duduk bermeditasi. Tiba-tiba saja Drestadyumna putera Drupada mendatanginya dan kemudian memenggal kepalanya dari belakang. Drona pun tewas seketika. Dalam peristiwa ini yang paling merasa bersalah adalah Yudistira.

Menurut versi Jawa, nama gajah yang dibunuh Bima bukan Aswatama, melainkan Hastitama. Ketika Drona menanyakan hal itu, Puntadewa menjawab bahwa yang mati adalah Hastitama, namun dengan suara yang sangat pelan. Akibatnya, terdengar oleh Drona bahwa yang mati adalah Aswatama. Selanjutnya, Drona yang lengah pun tewas dipenggal Drestadyumna.

Pertempuran melawan Salya

Salya adalah kakak ipar Pandu yang terpaksa membantu Korawa karena tipu daya mereka. Pada hari ke-18, ia diangkat sebagai panglima oleh Duryodana. Akhirnya ia pun tewas terkena tombak Yudistira.

Naskah Bharatayuddha berbahasa Jawa Kuno mengisahkan bahwa Salya memakai senjata bernama Rudrarohastra, sedangkan Yudistira memakai senjata bernama Kalimahosaddha. Pusaka Yudistira yang berupa kitab itu dilemparkannya dan tiba-tiba berubah menjadi tombak menembus dada Salya.

Sementara itu menurut versi pewayangan Jawa, Salya mengerahkan ilmu Candabirawa berupa raksasa kerdil mengerikan, yang jika dilukai jumlahnya justru bertambah banyak. Puntadewa maju mengheningkan cipta. Candabirawa lumpuh seketika karena Puntadewa telah dirasuki arwah Resi Bagaspati, yaitu pemilik asli ilmu tersebut. Selanjutnya, Puntadewa melepaskan Jamus Kalimasada yang melesat menghantam dada Salya. Salya pun tewas seketika.

Tantangan bagi Duryodana

Setelah kehabisan pasukan, Duryodhana bersembunyi di dasar telaga. Kelima Pandawa didampingi Kresna berhasil menemukan tempat itu. Duryodana pun naik ke darat siap menghadapi kelima Pandawa sekaligus. Yudistira menolak tantangan Duryodhana karena Pandawa pantang berbuat pengecut dengan cara main keroyok, sebagaimana para Korawa ketika membunuh Abimanyu pada hari ke-13. Sebaliknya, Duryodana dipersilakan bertarung satu lawan satu melawan salah seorang di antara lima Pandawa. Apabila ia kalah, maka kerajaan harus dikembalikan kepada Pandawa. Sebaliknya apabila ia menang, Yudistira bersedia kembali hidup di hutan.

Bima terkejut mendengar keputusan Yudistira yang seolah-olah memberi kesempatan Duryodana untuk berkuasa lagi, padahal kemenangan Pandawa tinggal selangkah saja. Dalam hal ini Yudistira justru menyalahkan Bima yang dianggap kurang percaya diri. Duryodana meskipun bersifat angkara murka namun ia juga seorang pemberani. Ia memilih Bima sebagai lawan perang tanding, yang paling gagah di antara kelima Pandawa. Setelah pertarungan sengit terjadi cukup lama, akhirnya menjelang senja Duryodana berhasil dikalahkan dan kemudian menemui kematiannya.

Maharaja dunia

Setelah perang berakhir, Yudistira melaksanakan upacara Tarpana untuk memuliakan mereka yang telah tewas. Ia kemudian diangkat sebagai raja Hastinapura sekaligus raja Indraprastha. Yudistira dengan sabar menerima Dretarastra sebagai raja sepuh di kota Hastinapura. Ia melarang adik-adiknya bersikap kasar dan menyinggung perasaan ayah para Korawa tersebut.

Yudistira kemudian menyelenggarakan Aswamedha Yadnya, yaitu suatu upacara pengorbanan untuk menegakkan kembali aturan dharma di seluruh dunia. Pada upacara ini, seekor kuda dilepas untuk mengembara selama setahun. Arjuna ditugasi memimpin pasukan untuk mengikuti dan mengawal kuda tersebut. Para raja yang wilayah negaranya dilalui oleh kuda tersebut harus memilih untuk mengikuti aturan Yudistira atau diperangi.

Akhirnya semuanya memilih membayar upeti. Sekali lagi Yudistira pun dinobatkan sebagai Maharaja Dunia setelah Upacara Rajasuya dahulu.

Setelah permulaan zaman Kaliyuga dan wafatnya Kresna, Yudistira dan keempat adiknya mengundurkan diri dari urusan duniawi. Mereka meninggalkan tahta kerajaan, harta, dan sifat keterikatan untuk melakukan perjalanan terakhir, mengelilingi Bharatawarsha lalu menuju puncak Himalaya. Di kaki gunung Himalaya, Yudistira menemukan anjing dan kemudian hewan tersebut menjdi pendamping perjalanan Pandawa yang setia. Saat mendaki puncak, satu per satu mulai dari Dropadi, Sadewa, Nakula, Arjuna, dan Bima meninggal dunia. Masing-masing terseret oleh kesalahan dan dosa yang pernah mereka perbuat. Hanya Yudistira dan aningnya yang berhasil mencapai puncak gunung, karena kesucian hatinya.

Dewa Indra, pemimpin masyarakat kahyangan, datang menjemput Yudistira untuk diajak naik ke swarga dengan kereta kencananya. Namun, Indra menolak anjing yang dibawa Yudistira dengan alasan bahwa hewan tersebut tidak suci dan tidak layak untuk masuk swarga. Yudistira menolak masuk swargaloka apabila harus berpisah dengan anjingnya. Indra merasa heran karena Yudistira tega meninggalkan saudara-saudaranya dan Dropadi tanpa mengadakan upacara pembakaran jenazah bagi mereka, namun lebih memilih untuk tidak mau meninggalkan seekor anjing. Yudistira menjawab bahwa bukan dirinya yang meninggalkan mereka, tapi merekalah yang meninggalkan dirinya.

Kesetiaan Yudistira telah teruji. Anjingnya pun kembali ke wujud asli yaitu Dewa Dharma. Bersama-sama mereka naik ke sorga menggunakan kereta Indra. Namun ternyata keempat Pandawa tidak ditemukan di sana. Yang ada justru Duryodana dan adik-adiknya yang selama hidup mengumbar angkara murka. Indra menjelaskan bahwa keempat Pandawa dan para pahlawan lainnya sedang menjalani penyiksaan di neraka. Yudistira menyatakan siap masuk neraka menemani mereka. Namun, ketika terpampang pemandangan neraka yang disertai suara menyayat hati dan dihiasi darah kental membuatnya ngeri. Saat tergoda untuk kabur dari neraka, Yudistira berhasil menguasai diri. Terdengar suara saudara-saudaranya memanggil-manggil. Yudistira memutuskan untuk tinggal di neraka. Ia merasa lebih baik hidup tersiksa bersama sudara-saudaranya yang baik hati daripada bergembira di sorga namun ditemani oleh kerabat yang jahat. Tiba-tiba pemandangan berubah menjadi indah. Dewa Indra muncul dan berkata bahwa sekali lagi Yudistira lulus ujian. Ia menyatakan bahwa sejak saat itu, Pandawa Lima dan para pahlawan lainnya dinyatakan sebagai penghuni Surga.

Menurut versi pewayangan Jawa, kematian para Pandawa terjadi bersamaan dengan Kresna ketika mereka bermeditasi di dalam Candi Sekar. Namun, versi ini kurang begitu populer karena banyak dalang yang lebih suka mementaskan versi Mahabharata yang penuh dramatisasi sebagaimana dikisahkan di atas. [id.wikipedia.org - foto : flickr.com]

TOGOG

Togog adalah tokoh wayang yang digunakan pada lakon apapun juga di pihak raksasa. Ia sebagai pelopor petunjuk jalan pada waktu raksasa yang diikutinya berjalan ke negeri lain. Pengetahuan Togog dalam hal ini, karena ia menjelajah banyak negeri dengan menghambakan dirinya, dan sebentar kemudian pindah pada majikan yang lain hingga tak mempunyai kesetiaan. Karena itu kelakuan Togog sering diumpamakan pada seseorang yang tidak setia pada pekerjaannya dan sering berganti majikan. Ia bersahabat dengan Semar dan terhitung lebih tua Togog daripada Semar, maka Semar memanggil Togog dengan sebutan Kang Togok.

Di mana Togog menghamba tentu dipercaya oleh sang majikan untuk memerintah bala tentara yang akan berangkat ke negeri lain. Waktu ia mendapat perintah untuk memberangkatkan bala tentara tersebut, dalang akan mengucapkan kata-kata sebagai berikut:

Tersebutlah lurah Wijayamantri (Togog) telah tiba di tempat para raksasa berkumpul, memerintahkan kepada Klek-engklek Balung atandak untuk bersiap akan berjalan ke negeri Anu, tetapi perintah itu tak didengar, maka naiklah ia ke panggung, memukul barang sebagai pertanda.

Adapun benda yang digunakan ialah genta, keleleng, gubar, beri dan lonceng agung sebesar lumbung. Setelah dipalu dan para raksasa segera bersiap senjata dan kendaraan yang berbentuk senuk, memreng, blegdaba, bihal, badak dan singa yang mengaum dan meraung mendatangkan ketakutan pada banyak orang.

Ucapan Engklek-engklek Balung atandak: Marilah teman berdandanlah, akan pergi ke negeri Anu. Dan kemudian disahuti oleh temannya: Ikut-ikutlah,, yangan ketinggalan perabot kita, tekor tempat darah, pisau pemotong hati.

Sangat riuh suara raksasa itu, setelah berkumpul, suara binatang, kendaraan meraung-sung berbareng dengan suara yang mengendarai meraung juga, terdengar seperti guruh musim ke empat.
Lurah Wijayamantri turun dari panggung, lalu menghadap kepada majikannya. Bragalba bertanya: Sudahkah lurah Wijayamantri mengundang bersiap sejawat raksasa semuanya?.
Wijamantri: Sudah Kyai, sewaktu-waktu berangkat telah bersiap.
Bragalba: Marilah sekalian berangkat pada waktu pagi. Dijawab: Marilah, marilah. Diiring dengan gamelan, ketika gamelan berhenti, Togog, berkata kepada Bilung: Bilung, bagaimanakah ini?. Tadi kata pemimpin saya diangkat sebagai pemimpin, tetapi yangan pula saya dapat memimpin hingga sampai ke negeri yang dituju, sekarang saja selalu terbelakang. Tetapi keduanya lalu menyusul juga.

Rombongan raksasa ini berjumpa dengan duta seorang raja, terjadilah tanya jawab maksud masing-masing dan karena bertentangan maka terjadi peperangan. Hal ini yang disebut perang gagal, yaitu perang yang tak ada hasilnya apa-apa, tidak ada yang mati, keduanya hanya bersimpang jalan.

BENTUK WAYANG

Togog bermata keran (juling), hidung pesek, mulut mrongos (jongang), tak bergigi, kepala botak, rambut hanya sedikit di tengkuk. Bergelang. Kain slobog, (nama batik), berkeris dan berwedung. Togog bersuara besar, cara menyuarakannya dengan suara dalam leher dibesarkan.[wayangku.wordpress.com - Foto : tjokrosuharto.com]

DEWI SRIKANDI

Srikandi atau Sikandin adalah salah satu putera Raja Drupada dengan Dewi Gandawati dari Kerajaan Panchala yang muncul dalam kisah wiracarita dari India, yaitu Mahabharata. Ia merupakan penitisan Dewi Amba yang tewas karena panah Bisma. Dalam kitab Mahabharata ia diceritakan lahir sebagai seorang wanita, namun karena sabda dewata, ia diasuh sebagai seorang pria, atau kadangkala berjenis kelamin netral (waria). Dalam versi pewayangan Jawa terjadi hal yang hampir sama, namun dalam pewayangan jawa ia dikisahkan menikahi Arjuna dan ini merupakan perbedaan yang sangat jauh jika dibandingkan dengan kisah Mahabharata versi India.

Arti nama


Dalam bahasa Sanskerta, Srikandi dieja Śikhaṇḍin, bentuk feminimnya adalah Śikhaṇḍinī. Secara harfiah, kata Śikhandin atau Śikhandini berarti "memiliki rumbai-rumbai" atau "yang memiliki jambul".

Srikandi dalam Mahabharata

Di kehidupan sebelumnya, Srikandi terlahir sebagai wanita bernama Amba, yang ditolak oleh Bisma untuk menikah. Karena merasa terhina dan ingin membalas dendam, Amba berdoa dengan keinginan untuk menjadi penyebab kematian Bisma. Keinginannya terpenuhi sehingga akhirnya Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi.

Pada saat lahir, suara dewata menyuruh ayahnya agar mengasuh Srikandi sebagai putera. Maka Srikandi hidup seperti pria, belajar ilmu perang dan kemudian menikah. Pada malam perkawinan, istrinya sendiri menghina dirinya setelah mengetahui hal yang sebenarnya. Setelah memikirkan usaha bunuh diri, ia kabur dari Panchala, namun diselamatkan oleh seorang Yaksa yang kemudian menukar jenis kelaminnya kepada Srikandi. Srikandi pulang sebagai pria dan hidup bahagia bersama istrinya dan memiliki anak pula. Setelah kematiannya, kejantanannya dikembalikan kembali kepada Yaksa.

Perang di Kurukshetra

Saat perang di Kurukshetra, Bisma sadar bahwa Srikandi adalah reinkarnasi Amba, dan karena ia tidak ingin menyerang "seorang wanita", ia menjatuhkan senjatanya. Tahu bahwa Bisma akan bersikap demikian terhadap Srikandi, Arjuna bersembunyi di belakang Srikandi dan menyerang Bisma dengan tembakan panah penghancur. Maka dari itu, hanya dengan bantuan Srikandi, Arjuna dapat memberikan pukulan mematikan kepada Bisma, yang sebenarnya tak terkalahkan sampai akhir. Akhirnya Srikandi dibunuh oleh Aswatama pada hari ke-18 Bharatayuddha.

Srikandi dalam Pewayangan Jawa

Srikandi dikisahkan lahir karena keinginan kedua orangtuanya, yaitu Prabu Drupada dan Dewi Gandawati, menginginkan kelahiran seorang anak dengan normal. Kedua kakaknya, Dewi Dropadi dan Drestadyumna, dilahirkan melalui puja semadi. Dropadi dilahirkan dari bara api pemujaan, sementara asap api itu menjelma menjadi Drestadyumna.

Dewi Srikandi sangat gemar dalam olah keprajuritan dan mahir dalam mempergunakan senjata panah. Kepandaiannya tersebut didapatnya ketika ia berguru pada Arjuna, yang kemudian menjadi suaminya. Dalam perkawinan tersebut ia tidak memperoleh seorang putera.

Dewi Srikandi menjadi suri tauladan prajurit wanita. Ia bertindak sebagai penanggung jawab keselamatan dan keamanan kesatrian Madukara dengan segala isinya. Dalam perang Bharatayuddha, Dewi Srikandi tampil sebagai senapati perang Pandawa menggantikan Resi Seta, kesatria Wirata yang telah gugur untuk menghadapi Bisma, senapati agung balatentara Korawa. Dengan panah Hrusangkali, Dewi Srikandi dapat menewaskan Bisma, sesuai kutukan Dewi Amba, puteri Prabu Darmahambara, raja negara Giyantipura, yang dendam kepada Bisma.

Dalam akhir riwayat Dewi Srikandi diceriterakan bahwa ia tewas dibunuh Aswatama yang menyelundup masuk ke keraton Hastinapura setelah berakhirnya perang Bharatayuddha.

Keterkaitan Srikandi dengan Amba

Amba adalah puteri sulung dari raja di Kerajaan Kasi dalam wiracarita Mahabharata. Bersama dengan tiga adiknya yang lain, yaitu Ambika dan Ambalika, Amba diboyong ke Hastinapura oleh Bisma untuk diserahkan kepada Satyawati dan dinikahkan kepada adiknya yang bernama Wicitrawirya, raja Hastinapura.

Sayembara di Kerajaan Kasi

Menurut legenda, sudah menjadi tradisi bagi kerajaan Kasi untuk memberikan puterinya kepada pangeran keturunan Kuru, namun tradisi tersebut tidak dilaksanakan ketika Wicitrawirya mewarisi tahta Hastinapura, padahal ia merupakan pangeran keturunan Kuru. Kerajaan Kasi memilih untuk menemukan jodoh puterinya lewat sebuah sayembara. Untuk menikahkan Wicitrawirya dengan para puteri Kasi, Bisma datang ke tempat sayembara. Ia mengalahkan semua peserta yang ada di sana, termasuk Raja Salwa yang konon amat tangguh. Bisma memboyong Amba tepat pada saat Amba memilih Salwa sebagai suaminya, namun hal itu tidak diketahui oleh Bisma dan Amba terlalu takut untuk mengatakannya.

Bersama dengan tiga adiknya yang lain, yaitu Ambika dan Ambalika, Amba diboyong ke Hastinapura oleh Bisma untuk dinikahkan kepada Wicitrawirya. Kedua adik Amba menikah dengan Wicitrawirya, namun hati Amba tertambat kepada Salwa. Setelah Amba menjelaskan bahwa ia telah memilih Salwa sebagai suaminya, Wicitrawirya merasa bahwa tidak baik untuk menikahi wanita yang sudah terlanjur mencintai orang lain. Akhirnya ia mengizinkan Amba pergi menghadap Salwa.

Pengembaraan Amba

Ketika Amba tiba di istana Salwa, ia ditolak sebab Salwa enggan menikahi wanita yang telah direbut darinya. Karena Salwa telah dikalahkan oleh Bisma, maka Salwa merasa bahwa yang pantas menikahi Amba adalah Bisma. Maka Amba kembali ke Hastinapura untuk menikah dengan Bisma. Namun Bisma yang bersumpah untuk tidak kawin seumur hidup menolak untuk menikah dengan Amba. Akhirnya hidup Amba terkatung-katung di hutan. Ia tidak diterima oleh Salwa, tidak pula oleh Bisma. Dalam hatinya, timbul kebencian terhadap Bisma, orang yang memisahkannya dari Salwa.

Di dalam hutan, Amba bertemu dengan Resi Hotrawahana, kakeknya. Setelah mengetahui masalah yang dihadapi Amba, sang resi meminta bantuan Rama Bargawa atau Parasurama, guru Bisma. Parasurama membujuk Bisma agar mau menikahi Amba. Karena Bisma terus-menerus menyatakan penolakan, Parasurama menjadi marah lalu menantang Bisma untuk bertarung. Pertarungan antara Parasurama melawan Bisma berlangsung dengan sengit dan diakhiri setelah para dewa menengahi persoalan tersebut.

Setelah Parasurama gagal membujuk Bisma, Amba pergi berkelana dan bertapa. Ia memuja para dewa, memohon agar bisa melihat Bisma mati. Sangmuka, putera dewa Sangkara, muncul di hadapan Amba sambil memberi kalung bunga. Ia berkata bahwa orang yang memakai kalung bunga tersebut akan menjadi pembunuh Bisma. Setelah menerima pemberian itu, Amba pergi berkelana untuk mencari kesatria yang bersedia memakai kalung bunganya. Meski ada peluang keberhasilan karena kalung tersebut diberikan oleh dewa yang dapat dipercaya, tidak ada orang yang bersedia memakainya setelah mengetahui bahwa orang yang harus dihadapi adalah Bisma. Ketika Amba menemui Raja Drupada, permintaannya juga ditolak karena sang raja takut melawan Bisma. Akhirnya Amba melempar karangan bunganya ke tiang balai pertemuan Raja Drupada, setelah itu ia pergi dengan marah. Karangan bunga tersebut dijaga dengan ketat dan tak ada yang berani menyentuhnya.

Kematian Amba

Dengan kebencian terhadap Bisma, Amba melakukan tapa dengan keras. Dalam pikirannya hanya ada keinginan untuk melihat Bisma mati. Karena ketekunannya, Dewa Sangkara muncul dan berkata bahwa Amba akan bereinkarnasi sebagai pembunuh Bisma. Sang dewa juga berkata bahwa kebencian Amba terhadap Bisma tidak akan hilang setelah bereinkarnasi. Setelah mendengar pemberitahuan dari sang dewa, Amba membuat sebuah api unggun, lalu membakar dirinya sendiri.

Dalam versi lain, ada informasi berbeda mengenai kematian Amba. Diceritakan bahwa Bisma mengembara untuk menjauhi Amba karena menolak menikah, namun Amba selalu mengikutinya. Akhirnya Bisma menodongkan panah ke arah Amba, untuk menakut-nakutinya agar ia segera pergi. Tetapi Amba tidak takut dan berkata, "Dewabrata, saya mendapat kesenangan atau mati, semua karena tanganmu. Saya malu jika harus pulang ke tempat orang tuaku ataupun kembali Hastinapura. Dimanakah tempat bagiku untuk berlindung?". Bisma terdiam mendengar perkataan Amba. Lama ia merentangkan panahnya sehingga tangannya berkeringat. Panah pun terlepas karena tangannya basah dan licin oleh keringat. Panahnya menembus dada Amba. Dengan segera Bisma membalut lukanya sambil menangis tersedu-sedu. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Amba berpesan kepada Bisma, bahwa ia akan menjelma sebagai anak Raja Drupada, yang ikut serta dalam pertempuran akbar antara Pandawa dan Korawa. Setelah Amba berpesan kepada Bisma untuk yang terakhir kalinya, ia pun menghembuskan nafas terakhirnya, seperti tidur nampaknya.

Lahir kembali sebagai Srikandi

Dalam kehidupan selanjutnya, Amba bereinkarnasi menjadi Srikandi, yang memihak Pandawa saat perang di Kurukshetra. Srikandi adalah anak Raja Drupada dari kerajaan Panchala yang istimewa. Pada saat lahir, ia berkelamin wanita, namun setelah dewasa ia berganti kelamin atas bantuan seorang Yaksa. Srikandi-lah orang yang bersedia memakai kalung Dewa Sangkara sebagai tanda bahwa ia akan membunuh Bisma.

Amba dalam pewayangan Jawa


Kisah hidup Amba antara kitab Adiparwa (buku pertama seri Mahabharata) dan pewayangan Jawa memiliki beberapa perbedaan, seperti misalnya nama-nama tokoh maupun kerajaan di India yang diubah agar bernuansa Jawa, namun perbedaan tersebut tidak terlalu besar karena inti ceritanya sama.

Riwayat

Dewi Amba adalah putri sulung dari tiga bersaudara, puteri Prabu Darmahumbara, raja negara Giyantipura dengan peramisuri Dewi Swargandini. Kedua adik kandungnya bernama Dewi Ambika (Ambalika) dan Dewi Ambiki (Ambaliki).

Amba dan kedua adiknya menjadi puteri boyongan Bisma (Dewabrata), putera Prabu Santanu dengan Dewi Jahnawi (Dewi Gangga) dari Hastinapura yang telah berhasil memenangkan sayembara tanding di negara Giyantipura dengan membunuh Wahmuka dan Arimuka. Karena merasa sebelumnya telah dipertunangkan dengan Prabu Citramuka, raja negara Swantipura, Amba memohon kepada Dewabrata agar dikembalikan kepada Prabu Citramuka. Kemudian persoalan mulai timbul karena Amba ditolak oleh Prabu Citramuka semenjak menjadi puteri boyongan Bisma. Keinginan Amba ikut ke Hastinapura juga ditolak oleh Dewabarata. Karena Amba terus mendesak dan memaksanya, akhirnya tanpa sengaja ia tewas oleh panah Dewabrata yang semula hanya bermaksud untuk menakut-nakutinya. Sebelum meninggal Amba mengeluarkan kutukan, akan menuntut balas kematiannya dengan perantara seorang prajurit wanita, yaitu Srikandi. Kutukan Dewi Amba terhadap Dewabrata menjadi kenyataan. Dalam perang Bharatayuddha, arwahnya menjelma dalam tubuh Srikandi dan berhasil menewaskan Bisma (Dewabrata). [id.wikipedia.org - foto : ]

DEWI SHINTA

Sita adalah tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia merupakan istri dari Sri Rama, tokoh utama kisah tersebut. Menurut pandangan Hindu, Sita merupakan inkarnasi dari Laksmi, dewi keberuntungan, istri Dewa Wisnu.

Inti dari kisah Ramayana adalah penculikan Sita oleh Rahwana raja Kerajaan Alengka yang ingin mengawininya. Penculikan ini berakibat dengan hancurnya Kerajaan Alengka oleh serangan Rama yang dibantu bangsa Wanara dari Kerajaan Kiskenda.

Dalam tradisi pewayangan Jawa, Sita lebih sering dieja dengan nama Sinta.

Arti nama

Dalam bahasa Sansekerta, kata Sita bermakna "kerut". Kata "kerut" merupakan istilah puitis pada zaman India Kuno, yang menggambarkan aroma dari kesuburan. Nama Sita dalam Ramayana kemungkinan berasal dari Dewi Sita, yang pernah disebutkan dalam Rigweda sebagai dewi bumi yang memberkati ladang dengan hasil panen yang bermutu.

Seperti tokoh terkenal dalam legenda Hindu lainnya, Sita juga dikenal dengan banyak nama. Sebagai puteri Raja Janaka, ia dipanggil Janaki; sebagai puteri Mithila, ia dipanggil Maithili; sebagai istri Raama, ia dipanggil Ramaa. Karena berasal dari Kerajaan Wideha, ia pun juga dikenal dengan nama Waidehi.

Asal-usul

Ramayana menceritakan bahwa Sita bukan putri kandung Janaka. Suatu ketika Kerajaan Wideha dilanda kelaparan. Janaka sebagai raja melakukan upacara atau yadnya di suatu area ladang antara lain dengan cara membajak tanahnya. Ternyata mata bajak Janaka membentur sebuah peti yang berisi bayi perempuan. Bayi itu dipungutnya menjadi anak angkat dan dianggap sebagai titipan Pertiwi, dewi bumi dan kesuburan.

Sita dibesarkan di istana Mithila, ibu kota Wideha oleh Janaka dan Sunayana, permaisurinya. Setelah usianya menginjak dewasa, Janaka pun mengadakan sebuah sayembara untuk menemukan pasangan yang tepat bagi putrinya itu. Sayembara tersebut adalah membentangkan busur pusaka maha berat anugerah Dewa Siwa, dan dimenangkan oleh Sri Rama, seorang pangeran dari Kerajaan Kosala. Setelah menikah, Sita pun tinggal bersama suaminya di Ayodhya, ibu kota Kosala.

Masa pembuangan

Selanjutnya dikisahkan, ibu tiri Rama yang bernama Kaikeyi lebih menginginkan putra kandungnya, yaitu Bharata yang menjadi raja Ayodhya, bukan Rama. Kaikeyi pun mendesak Dasarata agar membuang Rama ke hutan selama 14 tahun.

Dasarata yang terikat sumpah terpaksa menuruti permintaan istri keduanya itu. sebagai putra yang berbakti, Rama pun menjalani keputusan itu dengan ikhlas. Sita yang setia mengikuti perjalanan Rama, begitu pula adik Rama yang lahir dari ibu lain, yaitu Laksmana. Ketiganya meninggalkan istana Ayodhya untuk memulai hidup di dalam hutan.

Di dalam hutan belantara dan pegunungan, Rama, Sita, dan Laksmana banyak bergaul dengan para pendeta dan brahmana sehingga menambah ilmu pengetahuan dan kepandaian mereka.

Penculikan oleh Rahwana

Rahwana adalah raja bangsa Rakshasa dari Kerajaan Alengka. Pasukannya yang bertugas di Janastana habis ditumpas Rama karena mereka gemar mengganggu kaum brahmana. Rahwana pun melakukan pembalasan ditemani pembantunya yang bernama Marica.

Mula-mula Marica menyamar menjadi seekor kijang berbulu keemasan dan menampakkan diri di depan pondok Rama. Menyaksikan keindahan kijang tersebut, Sita menjadi tertarik dan ingin memilikinya. Karena terus didesak, Rama akhirnya mengejar dan berusaha menangkapnya.

Tiba-tiba terdengar suara jeritan Rama di kejauhan. Sita pun menyuruh Laksmana untuk menyusul suaminya itu. Namun Laksmana yakin kalau kijang tersebut adalah jelmaan raksasa yang sekaligus meniru suara jeritan Rama. Sita marah mendengar jawaban Laksmana dan menuduh adik iparnya itu berkhianat dan memiliki maksud kurang baik.

Laksmana tersinggung mendengar tuduhan Sita. Sebelum pergi, ia lebih dulu menciptakan pagar gaib berupa garis pelindung yang mengelilingi pondok tempat Sita menunggu. Setelah kepergian Laksmana muncul seorang brahmana tua yang kehausan dan minta diberi minum. Namun ia tidak dapat memasuki pondok karena terhalang pagar gaib Laksmana.

Sita yang merasa kasihan mengulurkan tangannya untuk memberi minum sang brahmana tua. Tiba-tiba brahmana itu menarik lengan Sita dan membawanya kabur. Brahmana tersebut tidak lain adalah samaran Rahwana. Ia menggendong tubuh Sita dan membawanya terbang di udara.

Suara tangisan Sita terdengar oleh seekor burung tua bernama Jatayu, yang bersahabat dengan Dasarata ayah Rama. Jatayu menyerang Rahwana namun ia justru mengalami kekalahan dan terluka parah. Sita tetap dibawa kabur oleh Rahwana namun ia sempat menjatuhkan perhiasannya di tanah sebagai petunjuk untuk Rama.

Dalam istana Alengka

Sesampainya di istana Kerajaan Alengka yang terletak di kota Trikuta, Sita pun ditawan di dalam sebuah taman yang sangat indah, bernama Taman Asoka. Di sekelilingnya ditempatkan para raksasi yang bermuka buruk dan bersifat jahat namun dungu. Selama ditawan di istana Alengka, Sita selalu berdoa dan berharap Rama datang menolongnya.

Pada suatu hari muncul seekor Wanara datang menemuinya. Ia mengaku bernama Hanoman, utusan Sri Rama. Sebagai bukti Hanoman menyerahkan cincin milik Sita yang dulu dibuangnya di hutan ketika ia diculik Rahwana. Cincin tersebut telah ditemukan oleh Rama.

Hanoman membujuk Sita supaya bersedia meninggalkan Alengka bersama dirinya. Sita menolak karena ia ingin Rama yang datang sendiri ke Alengka untuk merebutnya dari tangan Rahwana dengan gagah berani. Hanoman dimintanya untuk kembali dan menyampaikan hal itu.

Ujian kesucian

Berkat bantuan Sugriwa raja bangsa Wanara, serta Wibisana adik Rahwana, Rama berhasil mengalahkan Kerajaan Alengka. Setelah kematian Rahwana, Rama pun menyuruh Hanoman untuk masuk ke dalam istana menjemput Sita. Hal ini sempat membuat Sita kecewa karena ia berharap Rama yang datang sendiri dan melihat secara langsung tentang keadaannya.

Setelah mandi dan bersuci, Sita menemui Rama. Rupanya Rama merasa sangsai terhadap kesucian Sita karena istrinya itu tinggal di dalam istana musuh dalam waktu yang cukup lama. menyadari hal itu, Sita pun menyuruh Laksmana untuk mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya dan membuat api unggun. Tak lama kemudian Sita melompat ke dalam api tersebut. Dari dalam api tiba-tiba muncul Dewa Brahma dan Dewa Agni mengangkat tubuh Sita dalam keadaan hidup. Hal ini membuktikan kesucian Sita sehingga Rama pun dengan lega menerimanya kembali.

Kehidupan selanjutnya

Setelah pulang ke Ayodhya, Rama, Sita, dan Laksmana disambut oleh Bharata dengan upacara kebesaran. Bharata kemudian menyerahkan takhta kerajaan kepada Rama sebagai raja. Dalam pemerintahan Rama terdengar desas-desus di kalangan rakyat jelata yang meragukan kesucian Sita di dalam istana Rahwana.

Rama merasa tertekan mendengar suara sumbang tersebut. Ia akhirnya memutuskan untuk membuang Sita yang sedang mengandung ke dalam hutan. Dalam pembuangannya itu, Sita ditolong seorang resi bernama Walmiki dan diberi tempat tinggal.

Beberapa waktu kemudian, Sita melahirkan sepasang anak kembar diberi nama Lawa dan Kusa. Keduanya dibesarkan dalam asrama Resi Walmiki dan diajari nyanyian yang mengagungkan nama Ramacandra, ayah mereka.

Suatu ketika Rama mengadakan upacara Aswamedha. Ia melihat dua pemuda kembar muncul dan menyanyikan sebuah lagu indah yang menceritakan tentang kisah perjalanan dirinya dahulu. Rama pun menyadari kalau kedua pemuda yang tersebut yang tidak lain adalah Lawa dan Kusa merupakan anak-anaknya sendiri.

Akhir riwayat

Atas permintaan Rama melalui Lawa dan Kusa, Sita pun dibawa kembali ke Ayodhya. Namun masih saja terdengar desas-desus kalau kedua anak kembar tersebut bukan anak kandung Rama. Mendengar hal itu, Sita pun bersumpah jika ia pernah berselingkuh maka bumi tidak akan sudi menerimanya.

Tiba-tiba bumi pun terbelah. Dewi Pertiwi muncul dan membawa Sita masuk ke dalam tanah. Menyaksikan hal itu Rama sangat sedih. Ia pun menyerahkan takhta Ayodhya dan setelah itu bertapa di Sungai Gangga sampai akhir hayatnya.

Versi di atas masih diperdebatkan tentang keasliannya. Sebagian berpendapat bahwa, Rama dan Sita hidup berbahagia setelah kembali ke Ayodhya. Tidak ada lagi pembuangan terhadap Sita. Kisah Sita ditelan bumi dalam Ramayana dianggap sebagai tambahan yang ditulis orang lain, bukan hasil karya Walmiki.

Mereka yang menolak versi di atas berpendapat bahwa Rama dan Sita hidup berbahagia dan memerintah Kerajaan Ayodhya selama 11.000 tahun (konon angka ini dianggap lazim pada zaman tersebut, yakni zaman Treta Yuga). Sita hanya hidup selama beberapa tahun saja di dalam istana Rahwana, sehingga dapat dianggap sebagai suatu masalah yang sangat kecil jika dibandingkan dengan lamanya mereka hidup.

Versi pewayangan

Versi Ramayana di atas cukup berbeda jika dibandingkan dengan kisah dalam pewayangan, terutama yang berkembang di Jawa. Dalam versi ini, Sita disebut dengan gelar lengkap Rakyan Wara Sinta. Uniknya, ia juga disebut sebagai putri kandung Rahwana sendiri.

Rahwana versi Jawa dikisahkan jatuh cinta kepada seorang pendeta perempuan bernama Widawati. Namun Widawati menolak cintanya dan memilih bunuh diri. Rahwana pun bertekad akan mencari dan menikahi reinkarnasi Widawati.

Atas petunjuk gurunya yang bernama Resi Maruta, Rahwana mengetahui kalau Widawati akan menitis sebagai putrinya sendiri. Namun ketika istrinya yang bernama Dewi Kanung melahirkan, Rahwana pergi untuk memperluas jajahan. Bayi perempuan yang dilahirkan Kanung pun diambil Wibisana untuk dibuang di sungai dalam sebuah peti. Wibisana kemudian menukar bayi tersebut dengan bayi laki-laki yang diciptakannya dari mega di langit. Bayi laki-laki tersebut akhirnya diakui Rahwana sebagai anaknya, dan kelak terkenal dengan nama Indrajit.

Sementara itu bayi perempuan yang dibuang Wibisana terbawa aliran sungai sampai ke wilayah Kerajaan Mantili. Raja negeri tersebut yang bernama Janaka memungut dan menjadikannya putri angkat, dengan nama Sinta.

Kisah selanjutnya tidak jauh berbeda dengan versi aslinya, yaitu perkawinan Sinta dengan Sri Rama, penculikannya, sampai dengan kematian Rahwana dalam perang besar. Namun versi Jawa menyebutkan, setelah perang berakhir Rama tidak menjadi raja di Ayodhya, melainkan membangun kerajaan baru bernama Pancawati.

Dari perkawinannya dengan Rama, Sinta melahirkan dua orang putra bernama Ramabatlawa dan Ramakusiya. Putra yang pertama, yaitu Ramabatlawa menurunkan raja-raja Kerajaan Mandura, antara lain Basudewa, dan juga putranya yang bernama Kresna.

Kresna versi Jawa disebut sebagai reinkarnasi Rama, sedangkan adiknya yang bernama Subadra disebut sebagai reinkarnasi Sinta. Dengan demikian hubungan Rama dan Sinta yang pada kehidupan sebelumnya adalah suami-istri berubah menjadi kakak dan adik dalam kehidupan selanjutnya.[id.wikipedia.org - foto : mig33java.forumotion.com]